Biawak Dijadikan Tas dan Tali Jam

By , Rabu, 5 Juni 2013 | 17:32 WIB
()

Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim pakar dari Indonesia dan Jerman ditemukan bahwa biawak air tawar di Asia Tenggara dibunuh atau dipindahkan dari habitat mereka dalam jumlah yang masif. Di Indonesia, ekspor kulit biawak air tawar ini (Varanus salvator) dibuat tas dan tali jam tangan, telah mengorbankan sekitar 450.000 individu kadal raksasa setiap tahunnya.

Demikian hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Herpetological Conservation and Biology dan dilansir oleh Mongabay Indonesia, Rabu (5/6). Menurut Mark Auliya, satu penulis dari Helmholtz Centre for Environmental Conservation (UFZ), keindahan warna, nilai kelangkaan, dan status perlindungan yang tinggi yang justru meningkatkan permintaan akan kulit biawak.

"Bahkan satwa sebesar Komodo saja ikut jadi korban perdagangan ilegal, kendati aturan perdagangan satwa secara internasional lewat CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) tidak memperbolehkan perdagangan jenis spesies ini," tambah Auliya.

Berbagai jenis kadal raksasa ini juga berhadapan dengan ancaman dari para petani yang melindungi hewan ternak mereka. Ditekankan pula dalam studi ini bahwa minimnya informasi terkait kadal-kadal raksasa.

Komodo (Varanus komodoensis) merupakan spesies kadal terbesar. Panjangnya bisa mencapai lebih dari tiga meter dengan bobot lebih dari 70 kilogram.

"Karena alasan itulah kami menciptakan identifikasi yang komprehensif terhadap semua jenis biawak, termasuk di dalamnya foto-foto," ungkap Evy Arida dari Museum Zoologi Bogor.

Diharapkan bantuan seperti ini akan membantu para pemilik otoritas dan imigrasi untuk meningkatkan penegakan hukum untuk memastikan konservasi yang lebih berkelanjutan bagi biawak di Indonesia.

“Pihak konsumen seharusnya juga harus sadar akan tanggung jawab mereka saat membeli reptil hasil tangkapan,” tambah Auliya.

Studi ini merekomendasikan untuk menekan kuota ekspor terhadap beberapa jenis kadal raksasa dan membentuk kuota bagi spesies yang belum terlindungi. Mereka juga mengadvokasi penegakan hukum yang lebih keras, serta melakukan pelatihan bagi pihak-pihak terkait untuk menekan dan mencegah aktivitas perdagangan ilegal.

Sementara peneliti dari UFZ dan Zoological Research Museum di Bonn, Jerman, Alexander Koenig, melihat hal ini sebagai keragaman yang disepelekan di Asia Tenggara. Terutama terkait distrbusi biawak dan hubungannya satu sama lain.

Menurut Koenig, sejak tahun 2010, pihaknya sudah mengidentifikasi setidaknya sepuluh spesies kadal baru di Asia Tenggara dan Papua. Salah satunya adalah kadal air Quince yang ditemukan di Maluku tahun 1997 dan kadal pohon biru yang ditemukan tahun 2001.

"Spesies yang disebutkan terakhir tersebut ditemukan di Pulau Batanta, di sekitar Raja Ampat, Papua Barat," jelas Koenig.