Pohonnya rindang dan memberikan keteduhan. Ketika besar, tingginya dapat mencapai 25 meter dan diameter batang hingga 40 sentimeter. Batangnya tidak berbanir dan tumbuh tegak lurus. Terhitung dari muka tanah hingga tiga meter ke atas, tidak ada percabangan.
Ciri khas pohon jengkol juga dapat dilihat dari warna daun yang berwarna merah ungu. Dan, “sewaktu berbunga, pohon itu terlihat semakin cantik. Karena rindang, jengkol juga cocok sebagai tanaman peneduh tepi jalan,” kata Dr Ismayadi Samsoedin, ahli tanaman dan hutan kota dari Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan, Kementrian Kehutanan.
Jengkol adalah tanaman asli Indonesia yang juga menyebar ke negara di wilayah ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Laos, Burma, dan Filipina. Tanaman ini tumbuh di wilayah dataran rendah hingga ketinggian 1.000 meter pada berbagai tipe tanah.
Menurut Ismayadi, jengkol yang masih satu keluarga dengan sengon (yang terkenal sebagai tanaman kayu yang baik) termasuk tanaman dengan pertumbuhan yang cepat. Dalam satu tahun, tumbuhan asli Indonesia ini dapat tiga kali berbunga yang kemudian menjadi buah.
“Selain itu, kawan-kawan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) bilang khasiat jengkol ini begitu banyak. Dan sekarang diminati orang,” tambah Ismayadi. Jengkol sudah banyak diketahui memiliki beragam khasiat yang baik untuk kesehatan kita. Buah jengkol mengandung unsur Kalium yang tinggi dan berguna dalam menjaga fungsi jantung. Daunnya dapat digunakan untuk obat diabetes setelah direbus dengan air dan kemudian diminum.
Bagi sebagian masyarakat yang bermukim di wilayah barat Tanah Jawa, jering—begitu tanaman ini disebut warga—jengkol menjadi “kawan nasi” yang mengundang terbitnya liur.
“Jengkol masih muda sekali paling enak dilalap. Kira-kira umur dua bulan lah. Buahnya dikupas dan diambil dalamnya. Buah itu dicolek dengan sambal terasi yang dicampur dengan ikan teri. Sedap betul itu,” Ismayadi menjelaskan kebiasaan warga saat menikmati jengkol sembari terkekeh.
Jengkol yang beredar di pasar-pasar tradisional sebetulnya sudah berumur tua. “Namanya, sepi,” kata Ismayadi. Setelah menjadi buah dan berusia tiga bulan di pohon, jengkol kemudian di panen. Buah yang sudah dikupas disimpan dalam tanah selama dua minggu. Ketika buah sudah akan menjadi kecambah, jengkol itu diambil dan dijual di pasar. “Buah jengkol inilah yang dijadikan semur di dalam rumah makan Padang,” ujar penulis buku bertajuk “Hutan Kota dan Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabodetabek.” (bersama Tarsoen Waryono).
Jengkol juga sudah dikenal sejak masa penjejahan Belanda. Penjajah Belanda sudah mengetahui keberadaan tamanan yang menghasilkan buah sebagai bahan dasar masakan. Namun, “mereka tidak menyukai baunya,” ujar Ismayadi, tertawa.