Pesan Banjir dari Leluhur Jakarta

By , Selasa, 18 Juni 2013 | 13:15 WIB

Sebuah batu bertulis dari abad ke-5 yang ditemukan di Kampung Tugu, Jakarta Utara, mendedahkan ikhtiar terhadap banjir yang dilakukan Purnawarman, Raja Tarumanagara. Kini, warisan budaya itu tersimpan di Museum Nasional ibarat penanda siaga.

Di batu itu leluhur Jakarta menorehkan kisah pembangunan kanal yang dimandori para pendeta Hindu. Kanal itu panjangnya kira-kira sebelas kilometer, selesai dalam waktu 21 hari. Atas keberhasilan pembangunan kanal, sang raja menghadiahkan seribu lembu kepada para pendeta.

“Di mana kanal itu  sampai sekarang kita juga tidak tahu,” ujar Restu Gunawan. “Mungkin sudah tertutup lapisan sungai-sungai purba.” Restu merupakan Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia, yang juga menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Diplomasi Budaya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Bahwa fenomena ekologi atau lingkungan Jakarta yang datar itu sudah disadari sejak zaman dulu,” ungkap Restu. Berdasarkan penelitiannya tentang sejarah lingkungan Jakarta, seperti kota-kota lain sepanjang pesisir utara Jawa, Ibu Kota itu merupakan suatu dataran rendah yang terbentuk karena endapan banjir.

Wacana banjir Tarumanagara seolah lenyap selama seribu tahun. Baru kemudian sekitar abad ke-17 para pendatang Eropa mendirikan Kota Batavia di muara Ciliwung dan mengiris-iris kota itu dengan kanal. “VOC melihat Jakarta seperti kota asalnya yang dibelah-belah kanal,” kata Restu.

Meskipun banjir bertubi-tubi meluberkan kota itu, pengendalian banjir lewat pembangunan kanal banjir dan pintu air baru dilakukan pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Pada 1919 kanal banjir telah berhasil mengalirkan banjir menuju laut. Kanal dan pintu air itu utamanya didesain untuk melindungi permukiman elit bernuansa taman pertama di Hindia Belanda, Menteng. Namun demikian, banjir terus meluberkan kota ini.

Setelah Indonesia merdeka Presiden Soekarno pernah menginstruksikan bahwa semua pekerjaan yang berkaitan dengan pencegahan banjir dan bagian-bagiannya dianggap sebagai badan vital. Pernyataan tersebut dilansir setelah Pembentukan Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir) pada 1965. Lalu, Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya (PBJR) pada 1972.

Ikhtiar secara saksama baru dilakukan pemerintah ketika membuat rencana induk pengendalian banjir dan sistem drainase kota pada 1973. Peta rencana induk itu menampilkan Kanal Banjir Barat (revitalisasi dari kanal banjir zaman kolonial) dan Kanal Banjir Timur (KBT). Keduanya menyerupai ladam yang membentengi Jakarta.

Pembangunan KBT baru terlaksana setelah tertunda 38 tahun dari perencanaan. Sebuah proyek pembangunan selokan raksasa itu dimulai pada 2003 dan selesai pada 2011. Kanal itu mengular sepanjang 23,5 kilometer, sekaligus memotong dan menampung lima sungai besar.

Berhulu di Cipinang Besar Selatan, Jakarta timur, dan bermuara di Marunda, Jakarta Utara—tak jauh dari lokasi penemuan batu bertulis tinggalan Tarumanagara. Tujuan KBT adalah mengamankan seperempat wilayah Jakarta dari meluapnya lima sungai tadi kala hujan besar.  Apakah pembangunan kanal-kanal banjir merupakan obat mujarab untuk masalah banjir Jakarta?

“Sistem kanal itu gagal,” ujar Restu.“Tidak ada bukti sejarah, ketika kanal itu dibangun, orang di sekitarnya terbebas dari banjir.”

Mengapa Restu Gunawan berpendapat demikian? Lalu, apa yang seharusnya dilakukan kota ini untuk mengendalikan banjir secara berkelanjutan?

Simak riwayat yang terserak di sepanjang tepian Kanal Banjir Timur dalam kisah Megaselokan Megapolitan di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2013.