Berkaca pada Transportasi Cali

By , Rabu, 19 Juni 2013 | 15:16 WIB
()

Cali, dengan nama resmi Santiago de Cali, merupakan kota terbesar ketiga di Kolombia. Kota ini ternama sebagai pusatnya tari seksi nan menggoda, Salsa.

Kini, Cali juga tengah mempercantik diri untuk menjadi kota yang menerapkan transportasi hijau. Green Coridor, demikian nama proyek yang ditujukan memberi transportasi mudah, murah, rendah polusi bagi warganya.

Awalnya prorgam ini dirancang sebagai program kampanye Rodrigo Guerrero pada tahun 2012. Dengan menggunakan rel kereta yang membentang sepanjang 15 kilometer, menghubungkan bagian selatan dan utara kota. Dalam rencana Green Corridor, rel ini menjadi multifungsi, sebagai jalur sepeda, lokasi pejalan kaki, dan ruang terbuka hijau.

Tapi minus rencana ini pun, Cali sudah mempunyai sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang disebut Masivo Integrado de Occidente (Mio). Jangkauannya sudah mencapai 94 persen wilayah kota Cali dan merentang sepanjang 243 kilometer.

Sistem ini bukan hanya untuk melayani transportasi publik, tapi juga agar warganya menggunakan trotoar, taman atau alun-alun yang bisa digunakan bersama. Sistem MIO ini rencananya diterapkan sebagai transportasi utama yang menghubungkan semua wilayah di Cali.

Salah satu koridor paling vital di sistem ini adalah Carrera 5 yang menghubungkan Aguablanca -salah satu wilayah paling miskin di timur laut- ke wilayah selatan sebagai kluster perguruan tinggi dan perusahaan teknologi informasi.

Baliho yang berisi iklan produk mobil menjulang di pinggir Jalan MT Haryono, di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Di sini, baik jalan tol maupun non-tol selalu macet, terutama pada jam-jam sibuk. Kemelut transportasi Jakarta dalam NGI Juni 2013. (Edy Purnomo)

Sementara itu, mari kita bandingkan dengan Jakarta. Di Jabodetabek, orang lebih memilih kendaraan pribadi karena buruknya fasilitas angkutan umum.

Dalam kurun waktu 2002 - 2010, pengguna motor di Jakarta berlipat dua, diiringi penurunan signifikan sejumlah pengguna bus.

Penggunaan kendaraan pribadi ini menyumbang besar dalam kesemrawutan lalu lintas Jakarta. Yang kemudian coba diatasi Pemerintah DKI Jakarta dengan menelurkan Bus TransJakarta. Sistem bus ini membayar operator bus per kilometer mereka jalan, tak peduli penumpangnya hanya satu atau seratus orang.

Pendapatan diambil dari uang tiket diambil TransJakarta, kemudian mereka membayar operator bus sesuai tagihan yang dikirim. Inilah yang coba diterapkan pada penyedia jasa bus-sedang agar terintegrasi dengan koridor bus TransJakarta. Tapi, solusi macam ini pun masih menemui kendala, dimulai dari sisi struktur yang tertata baik.

Sulitnya mengatur transportasi Jakarta ini terkupas dalam artikel Menanti Jakarta Lancar yang terbit dalam National Geographic Indonesia edisi Juni 2013.