Santapan dari Metropolitan Majapahit

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 22 Juni 2013 | 09:00 WIB
Upacara sedekahan dengan menyediakan tumpeng gumbrekan sebagai perwujudan rasa syukur. (Diah Ayu Puspandari/Fotokita.net)

Tahun lalu, para ahli arkeologi Pusat Arkeologi Nasional melakukan penelitian lanjutan di sebuah situs yang diduga bagian dari permukiman dalam istana Majapahit. Mereka melakukan ekskavasi di sehamparan pekarangan dan kebun milik warga di Sentonorejo, Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Temuan menarik di sekitar permukiman kuno itu diantaranya fragmen perhiasan emas dan perunggu, sejumlah keping koin Cina, arang sisa dapur, hingga potongan tulang babi dan kerbau. Tampaknya, tulang-tulang itu menunjukkan jenis satwa yang dulu disantap oleh penghuni permukiman.

“Memang makanan itu jarang yang meninggalkan sisa apalagi sudah berabad-abad,” ujar  Lien Dwiari Ratnawati di ruangan kantornya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dia merupakan peminat kuliner, ahli arkeologi sekaligus Kepala Subdirektorat Perlindungan Kekayaan Budaya di kementerian tersebut. Sebagai seorang penghobi kuliner, dirinya selalu menyiapkan aneka kudapan dari biskuit manis sampai keripik asin di laci meja kerjanya.

“Kebetulan saya suka makan,” kata Lien. “Kata orang kalau melakukan sesuatu itu harus yang kita senangi.” Lien mengumpulkan semua data yang berkait dengan santapan kuno: sisa tulang, peralatan makan, prasasti, naskah kuno, dan relief candi. Menurut Lien, salah satu sumber menarik yang bisa dijadikan acuan adalah relief yang berkait dengan aktivitas memasak.

Di Museum Trowulan terdapat umpak batu berhiaskan relief seorang wanita yang sedang memasak di dapur dengan segala perabotannya. “Relief itu menunjukkan kita sudah makan nasi sejak dulu,” ungkap Lien.

Trowulan memang paling kaya soal temuan dari berbagai peninggalan Majapahit: priuk, buyung, pasu, piring berbagai ukuran, dan peralatan makan lainnya.

“Itu menandakan bahwa dahulu itu seperti kita sekarang,” ungkap Lien. “Peralatan makannya beragam, sudah modern di zamannya.”

Di zaman Majapahit, berdasar temuan Lien, prasasti peresmian daerah perdikan umumnya memiliki persamaan dalam hal urutan acara. Dalam prasasti itu disebutkan pula hari, tanggal, dan nama sang raja yang meresmikan. Para pejabat yang hadir pun kadang turut ditulis. Upacara diawali dengan pemotongan kepala kerbau, tari-tarian, dan makan bersama.

Menurutnya, berbagai prasasti peresmian daerah perdikan Majapahit menyebutkan aneka jenis santapan yang disajikan dalam acara itu. Karena prasasti tidak mungkin mengabadikan nama makanan sehari-hari, Lien sekadar mendapatkan makanan upacara. “Kalau dipikir itu lebih mewah.”

Lien memaparkan temuannya dari beberapa prasasti. Dalam upacara itu mereka makan bersama dengan bermacam-macam sayuran, ada yang berkuah ada yang tidak. Santapan disajikan di tempat yang ceper ada pula di semacam mangkuk.

Lauk pun diolah dengan berbagai cara; diasinkan, diasamkan, diasap, dipanggang, hingga direbus. Di luar dugaan, cara penyajian makanan pada upacara masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang: nasi tumpeng. Lauk pauknya berupa daging kerbau, sapi, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan.

Setidaknya penelitian Lien telah menghubungkan temuan lapangan.  “Seperti gunungan, ada sayur-sayurannya—kalau sekarang urapnya,” ungkap Lien. Bahkan, tempat “makannya pakai daun pisang, sama seperti sekarang.”