Dua Sisi Nuklir

By , Selasa, 25 Juni 2013 | 09:30 WIB
()

Baru sekitar pekan lalu, AFP melansir berita ditemukan zat radioaktif beracun terkandung dalam air tanah di sekitar PLTN Fukushima Daiichi, Jepang. Tokyo Electric Power Co. (TEPCO), perusahaan operator PLTN yang hancur diterjang tsunami pada 2011 silam, menyatakan bahwa dari sampel air tanah, terdapat isotop stronsium-90 (produk sampingan proses reaktor nuklir) hingga 30 kali lipat di atas batas aman, juga isotop tritium hingga delapan kali batas aman.

Zat-zat racun itu diyakini berasal dari reaktor yang bocor saat terjadi proses pelelehan teras reaktor dua tahun yang lalu, dan akibat tidak bisa diserap tanah, masuk ke dalam sistem air tanah. Kekhawatiran akan limbah radioaktif, biaya, dan keamanan yang didasari pada berbagai kasus di masa lalu menghambat pengembangan energi nuklir.

Seiring masalah-masalah utama yang berkaitan dengan energi nuklir, nampaknya jenis energi dari pembelahan inti atom ini masih ditentang meskipun dewasa ini penolakan tidak sebanyak dulu. Ketika negara-negara mulai membangun reaktor-reaktor nuklir pada beberapa dekade yang lalu, pembelahan inti atom menjadi penolakan utama nuklir sebagai energi alternatif.

Sementara yang berikutnya adalah memastikan tak satu pun plutonium dimanfaatkan untuk senjata. Bahan bakar yang telah dipakai kaya akan plutonium dan menyisakan uranium –materi berharga nuklir yang perlu diselamatkan untuk pembangkit listrik.

Mesin akan memroses kembali bahan bakar yang telah dipakai itu menjadi campuran uranium dan plutonium yang disebut MOX (Mixed Oxide fuel). MOX dapat dibakar dalam beberapa reaktor modern dan dapat menambah pasokan bahan bakar selama beberapa dekade mendatang.

Pemrosesan kembali pembangkit listrik dilakukan di beberapa negara antara lain Jepang, Prancis, Rusia, India, Belgia, juga Inggris. Namun pembangkit listrik itu semula membuat plutonium untuk senjata-senjata nuklir, maka orang-orang Jepang suka mengatakan bahwa reaktor-reaktor nuklir mereka yang dijadwalkan mulai beroperasi tahun 2007, adalah pemrosesan kembali bahan bakar yang pertama kali dibangun sepenuhnya untuk penggunaan damai.

Ilustrasi nuklir. (Thinkstockphoto)

Saat ini di seluruh dunia ada sekitar 440 pembangkit listrik bertenaga nuklir yang menghasilkan 16 persen energi listrik di Bumi.

Beberapa negara kini bergantung pada nuklir sebagai mayoritas energi mereka. Seperti Prancis, contohnya, memperoleh 78 persen tenaga listriknya dari pembelahan inti atom.

Banyak manfaat pembelahan inti atom: Energi yang berlimpah, tak ada emisi karbon dioksida, tak ada bangunan tak menarik di lanskap kecuali kubah penampung dan menara pendingin yang jarang tampak.

Sebenarnya Jepang, sebagai negara yang kekurangan sumber daya minyak bumi, gas, dan batu bara, punya semangat untuk terus mengembangkan program pembelahan inti atomnya. Pun Cina yang menghadapi kekurangan energi listrik, mulai membangun reaktor-reaktor baru dengan cepat – satu atau dua reaktor setahun. Sejumlah program ambisius di bidang energi nuklir mungkin dapat memuaskan keinginan akan energi di Cina dan India.

Di samping problem limbah radioaktif, energi nuklir juga tak akan dapat diperbarui. Bahan bakar uranium yang tersedia saat ini terbatas, akan habis dipakai dalam kurun 50 tahun. Yumi Akimoto, negarawan Jepang untuk kimia nuklir serta Presiden Japan Atomic Energy Realtions Organization, meski menjadi saksi mata bom Hiroshima saat masih kecil, ialah salah satu pendukung energi nuklir.

Ia yakin masyarakat akan menerima pemrosesan kembali bahan bakar kalau mau bergantung pada pembelahan inti atom sebagai sumber energi.  Akimoto menekankan, "Jika kita mau menerima energi nuklir, kita harus menerima sistem keseluruhannya. Terkadang kita ingin buru-buru memanen hasil, tetapi lupa bagaimana menanam pohonnya."