Sebutan Negeri Gajah Putih merupakan sebutan bagi negara Muang Thai atau Thailand. Di Negeri Siam (Kerajaan Thai), gajah putih atau chang phueak dalam bahasa Thailand, menyimbolkan kesucian dan simbol kekuasaan kerajaan.
Makin banyak gajah putih yang dimiliki raja, dipercaya akan semakin besar kekuasaannya dan semakin baik nasib bagi kerajaannya. Karena dasar tradisi inilah maka inilah Negeri Siam juga dijuluki sebagai Negeri Gajah Putih.
Gajah menjadi lambang yang menghiasi segalanya di Thailand, mulai dari botol bir hingga istana-istana mewah. Hewan berbelalai ini menjadi ikon tersendiri bagi Thailand. Mengingat jasa pasukan gajah dalam peperangan melawan Myanmar (Burma), musuh utama Thailand pada abad ke-16, masyarakat Thailand percaya bahwa kemerdekaan mereka dicapai berkat jasa binatang ini.
Menyimak kisah di atas, terlihat gajah begitu diagungkan di Thailand. Namun, disayangkan dalam kehidupan nyata, gajah di Thailand tak semenarik kisah sejarahnya. Ungkapan pemujaan bertolak belakang dengan kondisi gajah yang saat ini justru memprihatinkan karena tenaga mereka diperas lantaran dijadikan gajah pekerja.
Habitat gajah semakin sempit, alam bebas yang menjadi rumah mereka berangsur menghilang seiring penebangan hutan liar. Penebangan hutan dan pertanian telah merampas tiga per empat lahan hutan milik gajah liar dan menghilangkan lahan pekerjaan gajah piaraan yang kebanyakan bekerja di bidang industri perkayuan.
Tak berhenti disitu gajah juga harus berlapang dada menerima perlakuan para manhout -pawang gajah- untuk mengkomersilkannya. Gajah dijadikan alat untuk mendapatkan uang.
Mulai dari tenaga pengangkut kayu gelondongan hasil penebangan liar hingga menjadikan mereka "pengemis dijalanan" dengan mempekerjakan mereka di pusat-pusat hiburan bagi wisatawan.
Mereka dipaksa menampilkan atraksi layaknya sirkus oleh para mahout untuk menghasilkan dengan mudah.
Mencari uang di jalan amatlah mudah. Kawanan gajah cukup berbaris mengikuti aba-aba para mahout, menjulurkan belalainya ke arah para penonton yang lewat di jalan, sesekali memberi hormat dan menggoyang-goyangkan kepalanya.
Sementara para asistennya menyebar sambil menjual pisang atau tebu untuk makanan para gajah – yang mereka jual dengan yang mahal. Penonton membelinya, selain karena kemurahan hati dan kesenangan mereka, juga karena tradisi kuno menegaskan bahwa gajah adalah penyebab turunnya hujan dan kemakmuran.
Bahkan begitu sakralnya gajah, sampai saat ini masyarakat Thailand masih mempraktikkan ritual berjalan tiga kali di bawah perut gajah, demi keberuntungan, dan kemudahan proses persalinan.
Awalnya pemerintah kurang peduli terhadap penyalahgunaan gajah yang dipekerjakan, namun karena tekanan masyarakat dan organisasi yang peduli tentang perlakuan terhadap gajah, maka pemerintah mulai serius memberlakukan pelarangan penyalahgunaan gajah di perkotaan.
(Kisah Gajah Thailand pernah dimuat dimuat National Geographic Indonesia pada Oktober 2005 dengan beberapa informasi tambahan)