Kujang, Jati Diri Urang Sunda

By , Kamis, 27 Juni 2013 | 13:45 WIB
()

Menyinggahi sanggar kerja Kujang Pajajaran di sudut timur Bogor, saya merasakan hawa panas luar biasa. Asalnya dari bara arang bambu bersuhu 800 -1.200 derajat Celcius di kejauhan, yang digunakan sang empu kujang Wahyu Affandi Suradinata melebur besi dan baja untuk dijadikan kujang, senjata tajam tradisional khas Tanah Pasundan.

Kujang berasal dari kudihyang (kudi: senjata berkekuatan gaib, hyang: dewa). Karya seni tinggi ini dianggap teureuh atau trah, jati diri urang (orang) Sunda. Menurut naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesia (1518), semula kujang digunakan sebagai alat berladang. Hingga kini, masyarakat Baduy di Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi masih menggunakan kujang untuk berladang.

Keahlian Wahyu membuat kujang didapat secara otodidak setelah secara tak sengaja menemukan kujang tertancap di batu dekat muara sungai di Sukawayana, Cisolok, pada 1993. Lalu, mantan guru STM (kini SMK Teknologi) ini berkonsultasi dengan budayawan Anis Jatisunda, dan beroleh keterangan bahwa kujang itu pernah menjadi milik bupati Pajajaran, kerajaan besar Sunda.

Setelah melebur besi dan baja, Wahyu menempanya menjadi kujang berdasarkan contoh yang ada. Hasil karya yang semula dibagikan secara cuma-cuma kepada kawan-kawan terdekat ternyata menarik pesanan serius dari kolektor kujang. Akhirnya Wahyu pun memutuskan penuh menjadi guru teupa alias pandai besi kujang.

Sembari memperlihatkan kujang-kujang hasil tempaannya, Wahyu menuturkan, “Kujang itu jenis senjata dua pangadegan, tajam di dua sisi dengan sisi belakang tajam separuh.” Lalu, telunjuk Wahyu menunjuk bagian-bagian kujang, dari papatuk atau congo (ujung seperti panah), eluk atau silih (lekukan punggung), tadah (lengkung menonjol di perut), sampai mata (lubang kecil yang ditutup logam mulia).

Wahyu Affandi Suradinata menjaga warisan leluhur Tanah Pasundan dengan menjadi empu pembuat kujang. (Ilham Krismansyah)

Sembari mengutip keterangan yang diberikan Anis, Wahyu melanjutkan, ”Kujang sudah ada sejak abad sembilan hingga 12 sebagaimana tertulis dalam naskah kuno Pantun Bogor.

Kujang berkembang menjadi senjata pralambang pusaka—keagungan dan pelindung, pakarang—untuk berperang, pangarak—untuk upacara, dan pamangkas—untuk berladang.”

Berdasarkan bentuk bilah, ada yang disebut kujang jago (mirip ayam jantan), ciung (burung ciung), kuntul (bangau), badak, naga, bangkong (kodok), dan tokoh wayang perempuan perlambang kesuburan. Sekilas, siluet kujang mengingatkan pada kuda laut.

Wahyu membuat sendiri kowak atau sarangka, sarung kujang yang terbuat dari kayu sonokeling dari seputar Gunung Sunda, Sukabumi. Kujang dan sarung digarap dalam sepuluh hari. Selain kujang dalam bentuk aslinya, Wahyu pun melayani pesanan membuat hiasan dinding kujang satu sisi, plakat, dan cendera mata, seperti pin dan gantungan kunci. 

Sebagai bagian pelestarian budaya Sunda, ia juga membuat cendera mata khusus macam miniatur Batu Tulis lengkap dengan terjemahan prasasti dan kujang kecil.