Gerimis tipis mewarnai suatu malam menjelang pengujung tahun di Yogyakarta. Di alun-alun kota, pasar malam Sekaten tengah digelar. Suara musik pop dan dangdut khas Indonesia dari pengeras suara terdengar bersahut-sahutan, berusaha menghangatkan acara. Namun gerimis yang sebelumnya diawali hujan deras sejak sore telanjur menguasai suasana.
Hiburan rakyat yang biasanya selalu dipenuhi pengunjung kali ini sepi. Pada bagian teras wahana yang berbentuk tong raksasa dan beratapkan tenda kerucut, tampak terpajang sepeda motor dan sepeda onthel.
Tak jauh dari situ, tiga lelaki remaja berdiri tanpa menghiraukan rinai gerimis. Mereka berusaha membujuk para pengunjung pasar malam yang melintas agar membeli tiket. Dandanan mereka identik; celana jin super-ketat dipadu kaus oblong. Sia-sia saja menanyakan nama mereka, karena lebih senang disebut anak-anak oblo—organisasi bocah lali omah (kumpulan anak lupa rumah).
Salah seorang dari mereka—berusia 12 tahun—menyandang keahlian beratraksi melawan gravitasi dengan sepeda onthel dalam tong raksasa.
“Tong Stand,” begitulah nama wahana ini. Atraksi utamanya adalah aksi pengendara motor saat melintasi bagian dalam dinding vertikal dari tong silinder berukuran besar yang terbuat dari susunan kayu.
Tinggi tong itu sekitar sepuluh meter dengan diameter bagian dasarnya sekitar enam meter dan diameter bagian atas (bibir tong) sekitar sebelas meter. Di sinilah pengendara motor mengandalkan kecepatan dan keseimbangan agar tidak terjatuh ke dasar tong.
Seiring redanya gerimis, belasan pengunjung membeli tiket seharga Rp5.000, lalu menaiki tangga menuju level kayu khusus penonton. Dari bibir tong, mereka melihat ke bawah. Semuanya menutupi telinga untuk mengantisipasi raungan suara motor yang melaju dalam tong.
Dua pengendara berputar di bagian bawah tong sampai mendapatkan cukup kecepatan untuk membawa motor dalam posisi horizontal pada bagian atas tong. Mereka memutar berlawanan arah jarum jam.
Sekitar sepuluh menit mereka beratraksi: berdiri di atas motor dalam kecepatan tinggi untuk melawan gravitasi, sampai atraksi menyambar uang yang diberikan para penonton. Ketika menyambar saweran, posisi roda motor tipis sekali di bibir tong—seakan-akan motor hendak menyerempet para penonton.
Atraksi mencapai klimaks ketika seorang pengendara sepeda onthel bergabung dalam lintasan. Hanya dengan tenaga kayuhan kakinya, ia berhasil sampai di bibir tong dengan posisi yang nyaris horizontal dengan lantai.
Tong Stand bagaikan sebuah rumah perantauan bagi para oblo. Padanya mereka menggantungkan harapan untuk bertahan hidup. Bagi para nomad ini, Tong Stand sejalan dengan filosofi yang mereka anut: hidup mandiri jauh dari rumah dan bersenang-senang di atas roda-roda gila!
(Tong Setan pernah diterbitkan National Geographic Traveler edisi Juni 2012. Fotografer Aulia Erlangga kemudian membantu penulisan untuk feature Komidi Keliling di National Geographic Indonesia edisi April 2013)