Knights of the Golden Empress untuk Iwan Tirta

By , Jumat, 28 Juni 2013 | 15:49 WIB

Iwan Tirta adalah batik, Ini yang paling diingat masyarakat tentang empu yang wafat pada 31 Juli 2010 itu. Dan bagi Iwan Tirta, batik bukan sekadar busana keseharian, seperti yang kini popular. Batik adalah ungkapan budaya bangsa Indonesia.

Ini pernah ditegaskan lewat pentas retrospeksi Iwan Tirta melalui tari Bedhaya & Srimpi (2003) dan opera Tandhing Gendhing (2006-2007) bersama Gelar.  

Koleksi batik klasik Iwan Tirta tak semata menjadi kostum yang memperindah tata tari, tapi menjadi nyawa dalam tiap bentuk tari. Penokohan penari tampak jelas lewat corak batik yang dikenakan.  Puncak keindahan batik terlihat lebih bersinar dalam pertunjukan klasik yang memadu seni tari, lakon dan olah vokal ini.

Ungkapan keanggunan, keagungan dan keindahan terpadu yang takkan muncul dalam peragaan busana biasa. Karya itu melibatkan kerja sama kental dengan sahabat Iwan Tirta, Rahayu Supanggah penggubah karawitan yang lebih dikenal di dunia internasional dan Elly D Luthan piñata tari yang selalu berpijak pada tradisi, terutama Jawa klasik.  

Pada Kamis, 4 Juli 2013, Gelar bersama Rahayu Supanggah dan Elly D Luthan menjadwalkan kembali Retrospeksi Iwan Tirta lewat Knights of the Golden Empress yang digarap terilhami dari naskah tua Serat Damarwulan di masa keemasan Majapahit.

Kisah ini cukup popular hingga banyak memiliki versi lakon, sendratari dan cerita. Menurut Sri Margana, cerita Damarwulan dan Prabu Menakjinggo ini ditulis dalam Serat Kanda dan Serat Damarwulan oleh sastrawan dari Keraton Surakarta dan dipentaskan dalam bentuk langendryan (opera) oleh Mangkunegara IV (1853-1881).

Pertunjukan ini pun disajikan di tengah Royal Dinner di Grand Ballroom The Dharmawangsa Hotel Jakarta dengan rangkaian hidangan yang terilhami oleh hidangan kerajaan yang diolah oleh tim The Dharmawangsa. Suatu hal yang juga pernah digarap Iwan Tirta, seperti dituturkan seorang sahabatnya, seniman keramik F Widayanto.

“Batik itu bukan sekadar produk. Iwan Tirta membuat makan bukan sekadar mengisi perut agar kenyang, tapi juga menjamu indra kita yang lain dengan penyajian ala bangsawan. Ia menyajikan karakter budaya dan pengalaman menikmati jamuan ala kerajaan. Memberi nilai tambah bagi wisata budaya dan kuliner.”