Menyandarkan Hidup pada Batu Bukit Samba

By , Sabtu, 29 Juni 2013 | 07:46 WIB
()

Yohanes Raki, laki-laki separuh baya itu tidak berhenti menghisap rokok sembari tangannya menggerakkan palu memecahkan batu menjadi pecahan-pecahan kecil. Raki bersama tetangga-tetangganya di kampung Samba setiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya di antara bebatuan gunung bukit Samba.

Bukit batu yang berada di jalur jalan menuju desa-desa di kawasan Ndetundora itu menjadi lahan mata pencaharian sebagian besar penduduk dusun Samba dan Mbomba. Di tempat ini mereka melakukan penambangan batu secara tradisional dengan peralatan seadanya yang tidak memenuhi syarat keselamatan kerja.  

Saya mendapat kesempatan untuk mengenal lebih dekat para penambang batu tradisional di Bukit Samba beberapa waktu lalu. Tambang batu bukit Samba letaknya tidak terlalu jauh dari pusat kota Ende, kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya, sekitar delapan kilometer.

Bukit Samba, yang letaknya sekitar delapan kilometer dari pusat kota Kabupaten Ende, menjadi harapan hidup bagi warga sekitarnya (Yunaidi/NGI)

Dari lokasi ini dihasilkan material batu dan pasir berbagai ukuran sebagai bahan bangunan. Ada belasan orang laki-laki dan perempuan yang menjadi penambang di tempat ini. Mereka mulai beraktivitas sejak pukul 05.30 - 18.00. Waktu istirahatnya, pada pukul 12.00 – 14.00 siang.

Para lelaki menggali batu dari bukit dengan linggis, selanjutnya batu-batu yang digali tersebut dikumpulkan berdasarkan ukurannya. Jika mendapatkan batu besar yang tidak sanggup dipindahkan mereka akan membiarkannya, sedangkan batu sedang yang dapat dipindahkan mereka ambil dan selanjutnya akan dipecahkan menjadi bongkahan batu kerikil dengan ukuran bervariasi (sirtu dan kerikil). 

Pekerjaan memecahkan batu itu menjadi bagian pekerjaan para perempuan. Selain batu, mereka juga mengumpulkan pasir untuk dijual.

Batu-batu yang sudah dipecahkan menjadi kerikil dengan berbagai ukuran tersebut selanjutnya dikumpulkan di pinggir jalan dan siap dijual. Sistem penjualan dan pembelian di tempat ini tidak melalui perantara. Pembeli yang akan membeli batu untuk fondasi, kerikil, sirtu, pasir bahkan batu ukuran besar akan langsung bertemu dengan petani batu tersebut. Selanjutnya mereka melakukan tawar menawar dan bertransaksi di tempat. 

Harga kerikil dan batu hasil tambang para petani batu di bukit Samba ini bervariasi, untuk sirtu atau split dijual Rp500.000/truk. Sedangkan kerikil bervariasi antara Rp300.000 – Rp600.000 per truk. Mereka juga menjual pasir seharga Rp100.000 per truk. Sedangkan untuk satu unit mobil bak terbuka berkisar antara Rp250.000 – Rp300.000 per unit.

Harga tersebut yang belum sepadan dengan kerja keras mereka, apalagi tidak setiap hari ada konsumen yang datang membeli. Kadang bahkan sampai 3 minggu tumpukan kerikil dan pasir mereka tidak terjual.

Raki sepenuhnya mengandalkan hasil dari menambang batu ini untuk menghidupi keluarganya karena ketiadaan lahan garapan pertanian dan keahlian lainnya. Sudah 20 tahun dia mengais rezeki di bukit batu ini, sejak masa remaja hingga berkeluarga dan memiliki anak.

Bahkan dia juga mengajak istrinya, Katarina untuk menjadi penambangan batu tradisional. Ini semua dilakukan untuk menghasilkan rupiah demi rupianh guna menyambung hidup dan membiayai pendidikan anaknya. 

Bukit batu Samba, di tengah kebisuan dan gersangnya telah menjadi tumpuan hidup banyak orang untuk mengais rezeki demi menyambung hidup. Disadari atau tidak nyawa  para penambang batu menjadi taruhan.Menurut Katarina, mereka tidak punya pilihan lain, sekalipun risiko pekerjaan ini cukup berbahaya.

Saya sempat memperhatikan suaminya dengan peralatan seadanya seperti linggis yang tidak aman untuk menggali batu yang menempel di bukit. Tidak bisa dibayangkan seandainya batu-batu tersebut jatuh dan menimpa suami Katarina ini.

Batu-batu yang ribuan tahun menyusun bukit ini, di tangan manusia-manusia sederhana ini disulap menjadi material siap pakai untuk membangun rumah dan gedung di kota Ende. Bahkan banyak juga konsumen yang berasal dari Mbay, Maurole hingga Maukaro.

Tidak bisa diprediksi sampai kapan aktivitas menambang batu secara tradisional ini berlangsung, karena ditengah kebisuan dan bunyi palu yang beradu dengan batu ada harapan akan hidup yang lebih baik digantung disana. Di lain pihak banyak gedung berdiri megah karena disusun dan ditopang batu-batu hasil tangan-tangan warga Samba.