Irama Tingkilan, Irama Pesisir Mahakam

By , Selasa, 2 Juli 2013 | 10:00 WIB

Senin malam (1/7) Lisa melantunkan lagu Beganjong dengan merdu dan luwesnya. Dia mengenakan busana ta'wo yang bergaya peranakan Cina dan berpadu padan dengan bawahan batik. Rambutnya dihias sanggul mungil.

Kehadirannya sudah dinantikan penonton yang telah memadati Gedung Pentas Seni Kukar Art & Craft Expo, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang tampaknya masih dalam proses pembangunan. Sementara itu, Masrani duduk sembari memetik alat musik petik belengkor yang dibuatnya sendiri. Pemusik lainnya duduk di lantai sembari memainkan alat musik gambus, dan alat perkusi lainnya seperti ketipung dan gendang.

Mereka merupakan kelompok kesenian dari sanggar Maju Karya, Tenggarong, Kalimantan Timur. Pentasnya malam ini merupakan bagian dalam perayaan Festival Budaya Erau atau Erau International Folklore and Art Festival 2013 (EIFAF), yang digelar mulai 30 Juni hingga 7 Juli.

Musik irama tingkilan yang merupakan perpaduan budaya Islam, Melayu, dan Cina ini diperkirakan mulai dikenal masyarakat Kutai sejak abad ke-16 atau ke-17. Kemajemukan budaya di Kutai ini pun berlanjut hingga hari ini.

Menurut Syaiful Anwar Ibrahim, atau yang lebih populer dengan sebutan Nueng Ibrahim, tingkilan berasal dari bahasa kutai lama: “ting” dan “kil”. Lema "ting" dihasilkan dari suara senar yang dipetik, sedangkan "kil" adalah memetik senar. Nueng merupakan salah satu pemusik tingkilan yang turut melestarikan tradisi Kutai ini.

"Saya kalau cuma wawancara bisa," ujarnya. "Kalau diminta main, personil kami sudah banyak yang istirahat. Kami masih cari penggantinya."   

Lebih lengkap mengenai Festival Budaya Erau klik di tautan ini.