Komitmen Global Hapus Pekerja Anak

By , Rabu, 3 Juli 2013 | 09:06 WIB
()

Di seluruh penjuru dunia, kita bisa melihat anak-anak yang bekerja menjajakan pernak pernik atau menyapu pertokoan. Namun mungkin ini hanya yang paling terlihat dari 215 juta anak pekerja dunia.

Laporan yang dikeluarkan oleh badan PBB untuk buruh, International Labour Organization (ILO), menyatakan bahwa 60 persen dari pekerja keras ini berkecimpung dalam sektor pertanian, dengan upah kecil atau bahkan tanpa upah sama sekali.

Para pekerja anak-anak ini pun harus menjalani jam kerja yang panjang, pekerjaan bawah tanah, serta membanting tulang dalam pekerjaan-pekerjaan yang digolongkan keras bahkan berbahaya.

Menurut Human Right Watch, isolasi dalam pekerjaan rumah tangga bisa meningkatkan kemungkinan eksploitasi. Antara 2004 dan 2008 angka pekerja anak menurun hingga tujuh juta. Asia dan Amerika Latin khususnya Brasil, memimpin dalam hal ini berkat inisiatif pemerintah.

Namun, Asia Selatan tetap menjadi rumah bagi pekerja anak terbanyak di dunia. Satu dari empat anak sub-Sahara masih diklasifikasikan sebagai pekerja; dan krisis ekonomi bisa menghambat perkembangan ini akibat adanya permintaan pekerja murah.

Di negara kita, keadaan sama memprihatinkannya. Jumlah pekerja anak Indonesia cukup tinggi, dan terbanyak bekerja di sektor yang informal –pertanian, disusul sektor jasa dan manufaktur. Data di tahun 2011, ada sekitar 878 juta pekerja anak usia 10 - 14 tahun. Sedangkan mengacu data Understanding Children's Work (UCW) 2012, pekerja anak berusia 7 - 14 tahun mencapai sekitar 2,3 juta.

UU RI No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak salah satu pasalnya menyebutkan batas usia seorang anak adalah "semua orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan".

Grafis oleh MINA LIU. (SUMBER: INTERNATIONAL LABOUR ORGANIZATION)

Sementara itu ILO, lebih jauh lagi, terus mendesak adanya komitmen global untuk wajib belajar—misalnya dengan menghapus biaya sekolah—dan pakta pemerintah dengan pekerja yang terorganisir.

Diperkirakan bahwa dengan menghabiskan uang US$140 miliar di sub-Sahara Afrika selama 20 tahun bisa menghasilkan keuntungan hingga sekitar US$724 miliar, termasuk tabungan kesehatan dalam jumlah besar karena anak-anak berhenti melakukan pekerjaan berbahaya.

“Dunia bisa melakukannya, sebut saja ini investasi kecil dengan hasil yang besar.” Demikian kesimpulan dari laporan tersebut.