Membidik dengan Sumpit Dayak di Erau 2013

By , Minggu, 7 Juli 2013 | 09:00 WIB

Tradisi lama, sumpit digunakan untuk berburu hewan untuk disantap. Tradisi baru, sumpit tak hanya digunakan untuk mencari hewan buruan, tetapi juga hadiah.

"Menyumpit nugget," kata seorang teman pejalan dari Jakarta mengartikan lomba sumpit dengan polosnya. "Atau, mungkin menggunakan kacang karena kacang lebih sulit mengambilnya dengan sumpit?" ujar saya mencoba asal menerka.

Itu tadi adalah percakapan antara dua orang yang sok tahu di sebuah rumah penginapan berlantai kayu ulin dan berdinding kayu bangkirai di permukiman Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Saya pun menyeringai tatkala menyaksikan lomba sumpit yang digelar di halaman Planetarium Jagad Raya, Jl. Diponegoro. Lomba ini menguji kecermatan pengelihatan dan ketangkasan menggunakan alat berburu tradisi dayak: Sumpit. Tak ada kudapan yang bernama nugget atau kacang!

Lomba sumpit pada Sabtu (6/7) pagi ini merupakan rangkaian Pesta Budaya Erau atau Erau Interntional Folklore and Art Festival yang berlangsung 30 Juni - 7 Juli 2013.  Para peserta umumnya menggunakan pipa sumpit dan anak sumpit modern, seperti yang digunakan Saputra. Dia merupakan seorang peserta asal Bontang. Sumpitnya dari kayu kapur yang dibelah kemudian diisi pipa logam dan direkatkan kembali dengan lem.

Kedua ujung sumpitnya pun menggunakan logam pipa snorkel kuningan yang kerap dipakai para petugas pemadam kebakaran. Sementara anak sumpitnya dari serat karbon berpemberat bahan sandal japit. "Serawak memulai dulu dengan peluru dan sumpit modern," ujar Saputra.

Saya bertanya mengapa tidak berbusana adat layaknya perlombaan tradisi lain? "Dulu saat lomba memakai baju adat," jawab Saputra. "Tapi, panas dan jadi capek."

Tahapannya, "Tarik napas dulu. Tahan. Ancang-ancang sambil ngeker. Baru tiup," ujarnya sembari mencontohkan ekspresi bibirnya. "Tetapi, ada juga yang dikejut tanpa menarik napas."

Fidelis, seorang keturunan pemburu dari Dayak Tunjung di Kutai Barat, berkompetisi dengan menggunakan sumpit leluhurnya. Terbuat dari kayu ulin utuh yang dilubangi berbulan-bulan. Ujungnya dikaitkan dengan anak tombak. "Ini sumpit sudah generasi keempat," ujarnya dengan percaya diri. "Masih dipakai untuk berburu malam."

Tradisi berburu masih dilakukan oleh suku-suku Dayak. Fidelis pun kadang berburu pelanduk dengan sumpit leluhurnya itu. "Sumpit ini ada dua senjata," ujarnya. "anak sumpit dan anak tombak."

Ketika perburu, Fidelis menggunakan anak sumpit beracun. Dia membuat anak sumpit dari kayu bendang (semacam pelepah sawit) yang dikeringkan, diraut, dan diberi racun dari akar upas. "Cara menghilangkan racun pada hewan buruan," ujar Fidelis, "saat setengah masak, airnya dibuang. Lalu dimasak kembali." 

Perlombaan sumpit tahun ini banyak diikuti oleh keturunan Dayak. Istri Fidelis, yang juga keturunan pemburu, lebih dulu menjadi atlet sumpit. Kedua anak mereka mengikuti jejak orang tuanya.

"Dayak sudah berubah," ujar Fidelis. "Dulu kalau bertemu di hutan sering saling serang. Sekarang kalau ketemu tidak lagi [saling serang]." Pertikaian sudah tak lagi kerap terjadi. "Kalau tidak kenal bahasanya, kita sembunyi."

(Baca: Turnamen Sumpit Kelas Dunia di Kalimantan)

Di dalam hutan, kadang saat berpapasan dengan suku Dayak lain mereka menggunakan kode. "Tombak ke bawah artinya permusuhan," ujar Fidelis sambil memeragakan. "Tombak ke atas artinya perdamaian dan bersahabat." Dia berharap perlombaan kali ini bisa membawa pulang uang senilai Rp5 juta, juara pertama.