Selamat Tinggal Helium?

By , Jumat, 12 Juli 2013 | 10:24 WIB
()

Helium (He), adalah satu unsur yang paling berlimpah (kedua setelah hidrogen) di alam semesta, tetapi yang mulai semakin sulit didapatkan.

Sebagian besar dari kita mengenal helium sebagai gas yang menerbangkan balon pesta, balon udara zeppelin kecil, dan tokoh kartun raksasa dalam karnaval. Namun, helium lebih dari sekadar balon. Unsur kimia golongan gas mulia ini juga dijadikan pembersih mesin roket oleh NASA dan pihak militer, serta merupakan aspek penting dalam perlengkapan penyelaman, akselerator partikel, dan MRI.

Menurut National Research Council, pasokan helium kita sudah terkuras. Sebagian besar persediaan helium dunia berasal dari bawah Dataran Besar Amerika, tempat helium terperangkap dalam gas alam. Pihak Amerika Serikat memulai penimbunan helium sejak 1960-an, tetapi pada 1996 diputuskan untuk mengakhiri investasinya dan menjual semua cadangannya pada 2015.

Helium (Thinkstockphoto)

Helium mengalami kekurangan parah yang berakibat mendorong harganya helium melambung naik di pasar.

Negara produsen lain—Rusia, Algeria, dan Qatar—akan mengontrol apa yang masih tersisa di pasar dunia: yang jika ditotalkan mungkin akan bertahan selama 40 tahun.

(Baca juga: Asal nama unsur kimia unik di tautan ini)

Saat ini harga satu balon helium berkisar Rp10.000. Para ilmuwan, termasuk ahli fisika pemenang hadiah Nobel Robert Richardson, beranggapan bahwa kenaikan harga helium akan membantu melestarikan unsur tersebut. Richardson tahu bahwa membebankan biaya besar (sekitar Rp1.000.000) untuk sebuah balon kecil sama saja dengan "merusak kesenangan pesta".

Namun di lain pihak, upaya tersebut akan mendorong para pengguna helium skala besar, seperti NASA, untuk mendaur ulang—yang pada akhirnya akan berimbas pada pelestariannya.

*Artikel ini telah dimuat pula dalam majalah National Geographic Indonesia pada Februari 2011.