Nuansa Spiritual Manokwari

By , Jumat, 12 Juli 2013 | 14:29 WIB

Sebentuk benda putih sedkit tersilau tertimpa sinar matahari tampak di kejauhan Pulau Mansinam, Teluk Doreh, Papua Barat. Benda itu tak lain monumen berbentuk salib yang dibangun untuk memperingati masuknya Kitab Suci Injil ke Papua Barat.

Pada Februari 1855, di pulau seluas 410,97 hektare ini, untuk pertama kalinya misionaris Kristen asal Jerman C.W.Ottow dan Johann Gottlob Geissler, menginjak tanah Papua setelah 25 hari melakukan perjalanan laut dari Ternate. Inilah awal peyebaran Kristen di Papua, yang juga ditandai berdirinya Gereja Pengharapan (Kerk der Hopen), gereja pertama di Papua.

Nuansa spiritual Kristen sangat terasa di Manokwari yang sering disebut Kota Injil. Masyarakat setempat menaati peraturan daerah sejalan semangat ajaran Kristen. Di sini, pengendara kendaraan bermotor taat aturan dan santun berkendara.

Suatu kali, saya menyewa ojek motor menuju suatu tempat. Saat memasuki seruas jalan satu arah, saya menyadari tempat tujuan sudah terlewat beberapa meter di belakang. Karena memburu waktu, saya minta si pengojek berhenti dan berbalik arah —toh, hanya beberapa meter.

Namun, tegas ia menolak. "Tidak boleh kakak. Ini jalan satu arah, nanti dimarah orangtua." Saya pun segera turun dari motor dan membayar jasanya.

Berikutnya saya mengunjungi pasar tradisional Wosi. Semua buah yang dijual tidak dipetik dari pohon, melainkan buah masak yang terlepas dari tangkai dan jatuh ke tanah. Inilah sebentuk kearifan lokal yang bisa mengerem pola hidup konsumtif yang melulu berorientasi pada kuantitas untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Saya pun teringat saat berada di Misool, juga di Papua Barat. Saya ikut mencari buah mangga bersama anak-anak desa setempat. Melihat ada buah jatuh yang dikerubungi semut, mereka melarang saya mengambilnya. "Sudah dimakan semut, punyanya semut."

Ah, indahnya berbagi sesama makhuk hidup.