TNGP, Kelas Alam yang "Bocor" Atapnya

By , Jumat, 19 Juli 2013 | 14:00 WIB
()

Waktu menjelang senja, matahari menyorot dari kemiringannya di celah antara Pangrango dan Gede. Di antara daun-daun yang merona kekuningan tertimpa cahaya, ada sosok-sosok berbulu hitam pekat duduk dengan tenangnya. Lutung-lutung itu seperti menontoni kami yang melintas dalam perjalanan turun gunung.

Ini adalah perjalanan saya yang entah berapa mendaki gunung ini, namun tiap kali saya mendaki, tiap kali pula saya belajar. Satu waktu saya berjumpa dengan cacing raksasa sepanjang hampir semeter. Lain kali saya tertakjub-takjub dengan ribuan kunang-kunang yang muncul di musim kemarau.

Di Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) ini pula saya belajar menjelajah, mulai dari memahami cara navigasi di alam terbuka, menentukan rute, hingga mempelajari rute baru. Sempat pula beberapa kali salah jalan. Di lain waktu, ikut membantu operasi pencarian pendaki yang hilang, walaupun akhirnya ditemukan tewas.

Dahulu, kita masih bisa memilih jalan-jalan yang kurang terjal dan mendaki secara perlahan, saat ini pilihan makin sulit. Jalur-jalur pendakian di gunung ini menjadi makin terjal. Naik sulit apalagi turun. Memang, naik gunung berarti juga siap dengan jalur yang sulit, tetapi jalur pendakian Gede-Pangrango bukan lagi sulit, melainkan rusak.

Mendaki dari pintu masuk Cibodas, jalan masih terasa nyaman hingga air terjun Cibeureum, dengan catatan penuh kehati-hatian saat melintas board walk di atas rawa setelah telaga warna. Kontruksi papannya berkualitas rendah dan licin. Rekan saya pernah terperosok karena kayu ambalannya patah. Saya sendiri pernah terpeleset oleh licinnya lumut di permukaan papannya.

Di beberapa titik ada shelter-shelter yang menjadi naungan. Namun kondisinya juga jauh dari terawat. Seingat saya, sebagian besar shelter-shelter di taman nasional ini dibangun semasa Wahyudi Wardoyo menjadi kepala taman nasional ini, sekitar 20 tahun yang lalu. Seiring dengan waktu, tampaknya tidak ada penambahan dan perawatan yang memadai hingga saat ini.

Pohon-pohon eucalyptus menjulang di atas ladang sayuran, berselimutkan kabut dalam kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango. Kegiatan penghijauan kembali dilakukan di kawasan ini. (Reynold Sumayku/NGI)

Mendekati sumber air panas, ketika saya remaja dulu ada sebuah shelter di sini, kini lenyap. Dan makin ke atas, kondisi trek semakin menyedihkan.

Makin terjal, kondisi trek bercabang-cabang dan gradien (perbedaan tinggi)-nya makin besar. Jadi di titik-titik tertentu situasinya bukan mendaki lagi, tetapi memanjat. Terkadang bantuan akar yang menjulur keluar membantu.

Apa yang menjadi penyebab utama trek yang bercabang-cabang dan membingungkan ini? Ada beberapa hal.

Satu, biasanya para pendaki yang turun dengan terburu-buru biasanya membuka terabasan lurus terjal dan tidak mengikuti alur zig-zag dari jalur pendakian utama. Kedua, bila ada pohon yang roboh dan batangnya melintang di jalan, para pendaki mencari jalan memutar, dan lama kelamaan jalan itu melebar dan menjadi cabang.

Makin terjal medannya, biasanya makin banyak cabangnya. Selepas mendaki hingga Kandang Badak, baik ke kiri ke arah Puncak Gede, maupun ke kanan ke arah Puncak Pangrango kondisi ini bisa dibaca dengan jelas. Jalur Kandang Badak-Puncak Pangrango nyaris seperti labirin. Bercabang-cabang tidak karuan.

Kondisi ini memudahkan orang salah jalur atau salah jalan. Berikutnya akan membuka peluang tersesat. Banyak jalur berarti juga membuka tutupan hijau alias memperbesar tingkat erosi. Dan untuk saya yang mendaki berulang kali, kemunduran kondisi ini menjengkelkan.

Prihatin rasanya melihat “ruang kelas” untuk belajar tentang alam ini berantakan dan atapnya bocor di sana-sini.