Kenangan Jelajah Rokan Hulu (2)

By , Rabu, 24 Juli 2013 | 10:00 WIB
()

Bersama Melvinas Priananda, rekan seperjalanan, kami berebut mencari posisi duduk paling strategis di perahu pancung yang dilengkapi mesin 25 DK. Peserta wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Riau tengah bersiap-siap mendatangi Sumpoaro, sebuah jeram ternama di hulu Sungai Rohul Kiri, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau Dataran.

Bila di awal perjalanan menuju Desa Tibawan kami dibuai keelokan deretan bebatuan vulkanis, ceruk dan gua serta beberapa air terjun seperti di Hutan Lobek dalam waktu dua jam lebih, kini pengarungan Sungai Rokan Kiri terasa lebih menantang. Pasalnya perahu perahu pancung diarahkan sampai ke titik akhir sungai yang dapat dilewati. Lama penjelajahan sungai ini sekitar satu jam lamanya.

Navigator perahu berbekal sebilah rotan untuk memeriksa lintasan yang paling mudah dilewati dengan cara mencocok ke dasar sungai. Air kecokelatan muda terlihat bergolak dan terkadang air memercik sangat tinggi, membuat beberapa dari kami kuyup. Dari perasaan was-was, suasana pun perlahan menjadi cair. Kami saling mentertawakan siapa saja yang paling dahulu basah terkena air Sungai Rokan Kiri. 

Dasar sungai yang diarungi merupakan batuan padas, bukan pasir atau lumpur. Kepala Desa Tibawan, Radius menjelaskan, untuk mengarungi sungai-sungai di kawasan ini perlu menunggu air tinggi.

“Bila kondisi dangkal atau surut, perahu tidak bisa lolos, apalagi dasarnya bebatuan,” jelasnya. “Juga, di saat air tinggi, sebuah perahu pancung dapat mengangkut beban sampai delapan ratus kilogram, sedang saat air rendah hanya mampu setengahnya. Jadi harga-harga barang kebutuhan tidak jarang naik atau turun sehubungan dengan muka air sungai.”

Kembali menuju Desa Tibawan, petang sudah menjelang. Kepala desa menyambut sembari melayangkan undangan: pertemuan di balai desa dengan busana serba sarung!  Ini mengacu pada kesederhanaan dan kebiasaan warga setempat yang mengenakan sarung terutama dalam pertemuan malam hari.

Bagi para pria, ini bukan persoalan sulit, semua dapat mengenakan “seragam sarung kotak-kotak” bahkan dengan cara saling pinjam—kata mereka “Ada stok untuk kebutuhan ibadah dan tidur.”

Ramah tamah balai Desa Tibawan. Seluruh peserta wajib mengenakan sarung. Termasuk penulis sebagai satu-satunya jurnalis perempuan di acara ini (Tabrani, Disbudpar Riau)

Tetapi bagaimana dengan saya?  Sebagai pejalan solo, saya selalu membawa sarung yang multi fungsi. Persoalannya, milik saya bukanlah “seragam sarung kotak-kotak” melainkan sarung bali.

Jadilah saya mengenakan celana panjang kargo, dibalut sarung serta atasan barong bali. Saat tiba di balai desa, rekan-rekan seperjalanan pun menyambut dengan gurauan, “Selamat datang buat pelancong dari Bali!”Besok paginya kami bertolak kembali ke dermaga di Kecamatan Rokan IV Koto dan saya terpesona Istana Rokan. Ikuti kisah selanjutnya di bagian ketiga artikel ini.

Baca sebelumnya: Kenangan Jelajah Rokan Hulu (1)