Sinar matahari masih terasa hangat ketika saya sampai di perempatan Jalan KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat. Sebuah gedung berlantai 15 dengan bangunan bergaya perpaduan Timur Tengah dan Islam-Betawi menyambut saya.
Bagi yang belum tahu betul, mungkin bangunan ini dikira masjid. Tapi jika mendekat dan memerhatikan aktivitas di sekitarnya kita bisa langsung tahu bahwa ini adalah sebuah pasar.
Inilah Blok A Pasar Tanah Abang; pusat grosir tekstil dan garmen modern. Awalnya, pasar yang dibangun oleh Justinus Vinck, seorang anggota Dewan Hindia Belanda, pada 1735 ini dikenal sebagai pasar kambing atau pasar hewan.
Dahulu, kawasan ini juga banyak menghasilkan komoditas perkebunan seperti jahe, kacang, atau melati. Karenanya, kini muncul nama daerah seperti Kebon Kacang, Kebon Jahe, atau Kebon Melati di sekitaran Tanah Abang.
Puas menyusuri lorong-lorong kios di Blok A, manjakan mata dengan warna-warni khas klenteng (Toh Pe Kong) Hok Tek Ceng Sin yang terletak persis di belakang Pasar Blok A Tanah Abang. Hok Tek Ceng Sin termasuk klenteng tua di Jakarta.
Menurut salah seorang pengelola, klenteng tersebut sudah hadir sejak 300 tahun silam bersamaan dengan berdirinya pasar kambing Tanah Abang.
Buka pukul 07.00 – 18.00, tempat ini kerap dihadiri umat yang datang dari luar negeri, seperti Hongkong dan China. Paling ramai didatangi untuk ibadat saban tanggal 1 dan 15 penanggalan China. Pernah mengalami kebakaran pada 1995 dan dibangun kembali pada 1996.
Beberapa ikon penting di dalamnya di antaranya patung Sang Buddha, diorama kelahiran Buddha di Taman Lumbini serta pohon Boddhi berusia sekitar 12 tahun dengan akar menjulang ke bagian batang pohon.
Selain klenteng, kawasan Tanah Abang memiliki aset budaya dan sejarah penting berupa Masjid Jami Al-Makmur. Dibangun oleh bangsa Arab dan kini berusia dua abad lebih (diperkirakan berdiri pada 1818), masjid yang tetap mempertahankan keaslian pada bagian pintu, jendela, dan tiang-tiangnya ini memiliki nuansa Moorish di beberapa bagian seperti pada pilar dan ornamen jendelanya. Dulunya menggunakan atap rumbia dan ijuk, kini sudah diubah menggunakan material genteng.
Lanjutkan langkah Anda dari Masjid Al Makmur, menyeberangi Jalan Raya KH Mas Mansyur untuk mencicipi Sate Lembut Rumah Makan Betawi di Jalan Kebon Kacang V No 44, menyajikan sate khas Betawi yang sudah jarang dijumpai masa kini.
Daging sapi cincang dicampur bumbu dan kelapa dibentuk pipih dan ditempelkan ke tusuk sate. Mirip cara pembuatan sate lilit Bali. Disajikan dengan ketupat laksa. Pemilik warung sudah berganti tiga generasi, sebagai pertanda bahwa moda kuliner ini sudah cukup lawas.
Belum cukup puas dengan Sate Lembut? Berarti Anda perlu berjalan kurang lebih 300 meter lagi untuk mencoba Nasi Uduk Zainal Fanani di Jalan Kebon Kacang II No 5 yang legendaris. Menu utama nasi uduk yang dibungkus daun pisang dan aneka gorengan bisa dipilih sendiri. Mulai udang, jantung ayam, ati-ampela, jeroan sapi, ayam, tempe dan tahu.
Menu tambahan yang segar, asinan Betawi dengan kuah cuka aren dalam porsi sedang (piring kecil) siap menutup sebagai cuci mulut. Meski ada beberapa cabang di kawasan Jakarta Barat, tempat ini kerap menjadi pilihan para pelancong kuliner.
Bersambung ke Jalan Kaki Tenabang (II)