Setiap 27 Juli pemerintah menetapkan hari untuk memperingati sungai di Indonesia. Pemerintah melalui PP No. 38/2011 pasal 74 menyatakan tanggal ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini ditetapkan sebagai Hari Sungai Nasional, dalam rangka memberikan motivasi kepada masyarakat agar peduli terhadap sungai.
Bertepatan dengan Hari Sungai, Sabtu (27/7) diadakan diskusi "Perspektif Ciliwung", bertempat di Komunitas Ciliwung Condet, Jakarta Timur. Dihadiri sejumlah pegiat konservasi lingkungan berbagai lembaga, pelaku dunia usaha dan masyarakat, dalam diskusi antara lain diberi pemaparan hasil Jelajah Ciliwung 2013 yang sudah dilakukan selama tiga hari berturut pada Juni lalu.
Muhamad Muslich, kepala riset untuk program tersebut yang juga merupakan bagian dari Ciliwung Institute, menjelaskan mereka melakukan riset terhadap rimbunan bantaran sungai, muara anak sungai, titk sampah, outlet buangan sampah, hingga spesies di ekosistem riparian Ci Liwung dengan metode observasi.
Ia juga mengatakan, jelajah mereka sebetulnya punya satu tujuan: mengapreasiasi Ci Liwung. "Kegiatan [jelajah] ini juga semacam refleksi. bagaimana pendahulu kita pernah mempergunakan Ci Liwung untuk transportasi," sambungnya.
Komunitas Ciliwung yang mengenal prinsip riset sukarela, partisipasi, sederhana, kontinu, ilmiah, menyenangkan ini menyusuri sungai dengan perahu karet, rakit bambu, serta armada darat. Selain tim terdiri dari Komunitas Peduli Ciliwung, ditambah mapala beberapa universitas, yakni Mapala Universitas Indonesia, Mapala Universitas Gunadarma, dan lain-lain. Rutenya sepanjang Kampung Gelonggong, Bojong Gede hingga Balai Rakyat, Simatupang, Jakarta.
Dari situ terlihat bahwa keberadaan titik sampah meningkat, dari sebaran sampah di 134 titik (data hasil jelajah 2011) kini gunungan sampah ada di sebanyak 215 titik. Gunungan sampah tersebut didominasi oleh gunungan berukuran sedang.
Pelanggaran di bantaran juga ditemukan, yaitu berupa pengurugan dan pembangunan permukiman. Ada 20 titik, sempadan Ci Liwung telah dialihfungsikan sebagai permukiman.
"Permukiman itu ada dua, lokal dan kompleks. Ketika sempadan yang berfungsi sebagai “pagar” mulia rusak, maka intervensi masyarakat ke sungai makin terbuka. Contohnya adalah tumpukan sampah. Apalagi kebanyakan bangunan permukiman urban dihuni orang luar, tak memiliki ikatan dengan Ci Liwung," lanjut Muslich.Namun tidak semua hasil penemuan mengacu pada kerusakan (meski sempat ditemukan katak buduk; satwa ini dapat hidup di lingkungan berdaya dukung bahkan sangat rendah sehingga menjadi indikator ekosistem yang telah rusak). Ada pula penemuan yang menggembirakan. Antaranya beberapa titik masih ada bantaran yang cukup rimbun, lebat, tebal.
"Di ekosistem riparian sungai, vegetasi bambu masih banyak ditemukan–terdapat jenis bambu tutul, bambu andong, bambu petung, bambu kuning, bambu kaso, bambu tali. Begitu pun ragam spesies heterofauna (amfibi dan reptil) dan ikan," kata Muslich.
"Bagi saya, masih ada harapan," ia meyakini, "Selama kita mau selamatkan yang masih tersisa."
Disebutkannya, sungai tempat bermain (wisata) dan tempat belajar untuk siapa pun juga. Tetapi, jika dulu sejarah adalah demikian, bisakah Ci Liwung kembali menjadi sungai yang didambakan itu?