Berkenalan dengan Penganan Khas Gunungkidul

By , Minggu, 28 Juli 2013 | 08:41 WIB

Bisakah Anda membayangkan bahan-bahan makanan khas Ponjong yang Elia Nurvista gunakan dalam Adiboga Wonoasri?

Mari berkenalan dengan mereka!

Cundring adalah ampas minyak kacang tanah, berbentuk pasta berwarna cokelat dengan tekstur kacang. Ia memiliki bau yang cukup tajam.

Cabuk adalah ampas minyak wijen, berbentuk pasta lembut berwarna hitam. Baunya sangat tajam.

Puli memiliki tekstur seperti lontong, terbuat dari tumbukan beras. Rasanya gurih seperti jagung. Konon, dahulu puli merupakan camilan mewah karena tidak semua orang mampu membeli dan makan beras. Makanan utama masyarakat Ponjong kala itu adalah nasi thiwul, terbuat dari ketela pohon.

Kacang gude, berwarna hitam, seperti kacang tolo. Ia hanya tumbuh di daerah super kering. Ia memiliki rasa yang kurang kuat. Mlanding atau petai cina. Di Ponjong, orang lazim memanfaatkannya sebagai pengganti kedelai pada tempe.

Bungkil adalah ampas minyak kacang tanah, dari kacang kelas premium. Tekstur kacang tidak berubah, hanya saja bentuknya dipadatkan. Umumnya berbentuk bundar karena ia dicetak dalam tampah. Baunya cukup enak.

Elia (lahir 1983) menyelesaikan pendidikan Desain Interior di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Selama ini, ia memiliki minat khusus terhadap berbagai irisan tema dalam membahas makanan.

Pada 2012, Elia menjalani residensi di Koganecho Bazaar Artist in Residence, di Yokohama, Jepang. Di sana, ia membuat proyek yang membahas tentang makanan dan ingatan. Dalam proses berkarya, ia tertarik dengan riset dan metode kerja kolaboratif.

Dalam melakukan proyek Adiboga Wonoasri ini, Elia menemukan fase-fase up-and-down. Ia menerima pertanyaan "Apakah ini cooking class atau demo masak?", "Apakah proyek ini berhubungan dengan alternatif pangan, slow cook?".

Pertanyaan-pertanyaan serupa yang disampaikan oleh orang-orang yang berbeda. Melelahkan. Memecah konsentrasi, terutama ketika mereka sedang serius memasak.

Namun, Elia dan mitranya—Syafiatudina alias Dina—berkomitmen untuk tidak lelah menjawab semua pertanyaan dan bersikap terbuka. Intervensi dari penonton terbukti berhasil menjadikan ide resep yang menarik, yang mungkin tidak terpikir sebelumnya.

Persoalan anggaran sempat menjadi masalah. Waktu itu muncul pertanyaan, bagaimana mereka harus terus mendanai project yang ternyata memakan biaya yang cukup banyak. Mereka lalu sampai pada solusi penerapan sistem donasi.

Bagi Elia dan Dina, dapur eksperimen ini sebagai tempat proses membuat karya seni, seperti studio seniman pada umumnya. “Hanya saja kami membawa dapur ini ke ruang galeri. Kami berusaha bersikap terbuka atas intervensi orang lain terhadap hasil akhirnya,” pungkas Elia.