Kalau Anda sedang berjalan di hutan Sumatra atau Kalimantan lalu mendengar suara bagikan nenek sihir tertawa histeris dari kejauhan atau melihat sekelebat bayangan hitam besar terbang di atas kepala dengan mengeluarkan desingan sayapnya—sekilas menyerupai burung pra-sejarah, janganlah Anda berpikiran seram seperti dalam film horor atau merasa tersesat dalam dunia Jurrasic.
Suara dan burung yang kita lihat adalah nyata adanya, burung itu adalah enggang gading yang termasuk dalam keluarga burung rangkong.
Bagi keluarga burung, enggang gading mempunyai ukuran yang sangat besar, dengan panjang keseluruhan 1.400 mm, rentang sayap sampai 450 mm dan berat tubuh sampai 3.000 gram.
Seperti umumnya jenis burung rangkong, warna hitam merupakan warna dominan yang dimiliki oleh enggang gading dengan tambahan warna putih di beberapa bagian tubuhnya. Pada bagian tengah ekor terdapat bulu yang memanjang berwarna putih dengan sedikit warna hitam mendekati bagian ujung.
Selain adanya “pita” ekor, bentuk dan warna kepala enggang gading memudahkan kita untuk membedakan dengan burung rangkong lainnya. Bentuk paruh meruncing simetris, terdapat cula yang membulat dan tumpul menyatu dengan paruh bagian atas, pada burung rangkong umumnya cula tersebut berongga alias kosong, namun pada enggang gading culanya padat beratnya sampai 11% dari berat tubuhnya.
Warna kepala di dominasi warna merah darah dan memudar menjadi lebih kuning di bagian ujung paruh dan ujung balung/cula. Di bagian belakang kepala terlihat bulu mata yang cukup panjang, sekilas terlihat seperti perempuan menggunakan bulu mata palsu.
Tidaklah susah membedakan jenis kelamin di antara enggang gading, satu ciri yang sangat mencolok adalah warna pada lehernya yang nyaris tak berbulu seperti jengger ayam atau kepala mentok jantan. Pada burung jantan bagian leher ini berwarna merah darah sedangkan pada betina berwarna putih kebiruan.
Sepanjang hidupnya enggang gading hidup berpasangan, pada saat berkambangbiak seperti halnya burung rangkong di Asia, burung betina akan bersarang di pohon berlubang yang terbentuk secara alami. Lalu, bersama sang jantan pintu masuk sarang akan ditutup dengan adonan dasar tanah liat dan kotorannya, hanya menyisakan sedikit celah yang hanya untuk mengeluarkan paruh burung betina ketika menerima makanan dari sang jantan juga sebagai sirkulasi udara.
Di perkirakan selama 150 hari burung betina akan menempati rumah barunya dalam lubang pohon, menetaskan telurnya, menunggu anaknya keluar dari telur, dan kemudian membesarkannya sampai siap keluar dan terbang untuk pertama kalinya.
Semua proses ini dilalui bersama, sementara burung betina dalam sarang, burung jantan bertugas untuk menjaga keamanan dan mengirim makanan berupa buah beringin dan binatang kecil ke sarang untuk memenuhi kebutuhan si kecil beserta ibunya.
Dalam keluarga besar hutan tropis, enggang gading beserta keluarga besar rangkong lainnya mempunyai tugas sangat penting untuk membantu hutan dalam memperbaiki kerusakan alami dengan cara memencarkan biji yang berasal dari buah-buahan yang di makannya, maka layaklah mereka mendapat julukan sebagai petani hutan.
Saat ini keberadaan enggang gading di Indonesia belum banyak di ketahui secara pasti namun ancaman utama berupa hilangnya habitat yang di akibatkan penebangan hutan, perubahan lahan dan kebakaran hutan terus mendera mengakibatkan hilangnya sumber makanan dan pohon besar untuk bersarang. Selain itu perburuan oleh manusia menambah daftar ancaman bagi enggang gading.
Melihat kenyataan ini tak ayal lagi jumlah enggang gading di alam terus mengalami penurunan yang sangat drastis dan di saat kita menyadarinya mungkin hanya tinggal beberapa ekor saja burung rangkong yang bersuara histeris ini tersisa, jika semua ancaman yang di hadapi tidak sesegera mungkin dikurangi atau bahkan dihilangkan.
Masih ada waktu sebelum semua terlambat, supaya keindahan dan keunikan enggang gading dapat dilihat secara langsung oleh anak cucu kita, bukan hanya melalui gambar.
National Geographic Indonesia juga menerbitkan kisah sang petani hutan dalam edisi Agustus 2013, baca: Penabur Benih Menuai Badai