Kabut mulai memanjati berkas cahaya saat saya menjejak tanah dan rerumputan berselubung embun menuju Taman Wisata Alam Batuputih, Sulawesi Utara. Jalur tanah membujur kurang lebih dua kilometer mengiringi bibir pantai berpasir hitam.
Dari Pos I, gerbang pintu masuk sekaligus markas polisi hutan di bagian barat TWA, jalan ini berujung di timur, berbatas Cagar Alam Tangkoko Batuangus. Pos II, salah satu bangunan riset, menjadi tempat favorit anak muda bercengkerama di tepi laut.
Sambil melangkah santai dengan tas di punggung, saya mulai menelusur jalur yang awalnya membelah wilayah tanaman jati. Setelah sekitar setengah jam berjalan, pohon nantu, rao, bugis hutan,dan beringin mulai berkerumun mengais langit. Beberapa di antaranya mencapai 30 meter. Beberapa tempat bernaung menunggu di sepanjang jalur, siap menampung pengunjung yang ingin berteduh.
Taman wisata ini adalah tempat tinggal monyet hitam sulawesi yang dikenal dengan nama lokal yaki. Terhabituasi sejak sekitar 1995, satwa-satwa ini tak lagi takut dengan manusia, dan memiliki perangai unik seperti yang digambarkan dalam Makaka Pendaulat Takhta. Tetapi mereka akan menjaga jarak, tidak seperti monyet ekor panjang di Bali yang kadang tak sungkan mendatangi.
Selain tarsius yang akan muncul saat mentari tenggelam, satwa nokturnal lain yang bisa dijumpai di kawasan ini ialah kuskus. Pemandu TWA yang menemani sepanjang perjalanan adalah masyarakat setempat dengan berbagai latar belakang pendidikan yang telah menjalani pelatihan.
Menurut Yunus Masala petugas Polisi Kehutanan setempat, “Dengan memberdayakan penduduk lokal sebagai pemandu, mereka belajar untuk mencintai hutan serta keanekaragaman hayati daerah mereka sendiri dan menjaganya.”
Di dekat perbatasan dengan cagar alam, tiba-tiba terdengar bunyi kepakan sayap raksasa. Saya terkesima. Itulah suara kepak sayap julang sulawesi, yang panjang dari ujung kepala hingga ekornya bisa mencapai satu meter.
Orang pun kadang berseloroh menyebutnya helikopter hutan. Dengan paruh merah kuning yang tampak kontras saat terbang dilatari langit biru, suara burung ini berat bagaikan gonggongan anjing.
Julang sulawesi adalah salah satu jenis burung hornbill atau rangkong yang tinggal di Indonesia. Ada 12 jenis lainnya yang tersebar mulai dari Sumatra hingga Papua. Burung besar ini memiliki peran yang amat penting bagi kehidupan hutan. Bagaimana rupa rangkong-rangkong ini? Cermati keindahan ilustrasi masing-masing satwa di National Geographic Indonesia edisi Agustus 2013, dan kisahnya di Penabur Benih Menuai Badai.