Pelacakan dengan menggunakan metode radio tracking telah dimulai pada tahun 90-an. Kegiatan ini dilakukan oleh Suer Suryadi, seorang peneliti rangkong. Kegiatannya didanai oleh hibah National Geographic Society bekerja sama dengan Wildlife Conservaton Society di Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara.
Alat yang harus dipasang di tubuh rangkong memiliki ukuran yang kecil dan beroperasi menggunakan baterai yang tahan satu hingga dua tahun. Alat ini diletakkan bukan di kaki rangkong, melainkan di punggungnya dengan menggunakan tali. “Talinya dipilih yang mudah rapuh hingga mudah lepas sendiri, jadi dia tidak harus membawa itu sepanjang hidupnya,” kenang Suer yang memasang alat itu pada masa berbiak.
Menurut Suer, persiapan pemasangan alat memakan waktu tak singkat. Setelah menentukan sarang target, tim peneliti menyiapkan tali serta memasang jaring. Hal ini harus dilakukan secara berhati-hati agar tidak mengganggu betina yang sedang bersarang di dalam. “Karena kalau betinanya terganggu, keluar dari sarang, selesai sudah,” ungkapnya.
Tak tanggung-tanggung, Suer membutuhkan tenaga empat orang lainnya untuk memasang alat di tubuh rangkong. Demi menghindari serangan rangkong dengan paruhnya yang besar, Suer membuat penutup kepala burung dari karung terigu. Walau demikian, jemarinya pernah pula menjadi sasaran keganasan burung ini.
Setelah pemasangan berhasil dilakukan, ia dan timnya belum boleh merasa lega. “Kalau setelah dipasang lalu rangkongnya kembali lagi ke sarang, berarti semua aman,” kenangnya.
Selanjutnya, hari-hari pelacakan pun berlangsung. Tim peneliti siaga dari pagi hingga menjelang malam, mencatat lokasi tiap rangkong per menit. Segala jerih payah ini membuahkan pengetahuan tentang wilayah jelajah rangkong. Mengapa rangkong amat penting bagi lingkungan? Temukan jawabannya dalam Penabur Benih Menuai Badai berikut ilustrasi 13 rangkong di Indonesia dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2013.