Menyesap Harmoni Manusia, Alam, dan Budaya

By , Senin, 12 Agustus 2013 | 18:45 WIB
()

Bulan sabit berpendar menerangi langit; bintang bertaburan di angkasa yang biru bening. Jelang tengah malam itu, Abah Ugi bersama sang adik, Adik Pian, merangkai irama dari celempung. Suara halus alat musik tradisional Sunda itu membuat malam Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, kian terasa subtil. “Ini untuk rithym, ini bass, dan lubang ini untuk kendangnya,” tutur Abah Ugi memaparkan setiap bagian alat musik dari bambu itu. Sembari menganggit irama, Abah Ugi menuturkan, celempung yang bersenar hinis bambu (kulit bambu) ini bisa dimainkan saat senggang.

Di belakang Abah Ugi duduk bersila, pernak-pernik rangkaian elektronik berserakan. “Maaf berantakan seperti kapal pecah,” tuturnya. Kepala Adat yang bernama lengkap Ugi Sugriana Rakasiwi ini memang punya kesukaan merangkai berbagai komponen elektronika. “Ya…sekadar sambung-menyambung kabel,” katanya merendah di sela menyambut tetamu yang berkunjung. Hobinya yang mulai tumbuh sejak kelas 3 sekolah menengah pertama itu pelan-pelan memberi warna lain bagi Kasepuhan Ciptagelar. Selain radio FM, warga Kasepuhan juga bisa menikmati televisi lokal yang menayangkan kehidupan Ciptagelar.

“Namanya Ciga TV, ciga itu dalam bahasa Indonesia artinya mirip. Jadi, maksudnya mirip TV,” ujarnya sembari tertawa. Dengan stasiun seala-kadarnya, telivisi yang memakai gelombang VHF ini untuk mengimbangi stasiun TV yang lain. “Karena kita melihat telivisi nasional kurang muatan lokalnya,” tuturnya, “kalau di sini, hampir sepenuhnya memuat kehidupan sehari-hari warga Abah.”

Tak hanya itu, kini Internet pun memeriahkan Kasepuhan. “Abah juga punya website, Ciptagelar.org,” terangnya sambil menambahkan kini tak perlu lagi menarik-narik kabel jaringan Internet karena sudah nirkabel. Website itu, menurutnya, untuk memberi informasi warganya yang berada di luar Kasepuhan dan masyarakat umum.

Meski begitu, teknologi yang diserap Kasepuhan memiliki batas. Menghampar di bukit-bukit Gunung Halimun—di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Ciptagelar nyaris tertutup dari peradaban modern. Sawah-sawah berbaris seperti anak tangga dari kaki sampai puncak bukit. Kehidupan pertanian itulah yang menjadi sempadan antara teknologi modern dengan tradisi.

“Khusus pertanian, tak bisa diubah tradisinya. Misalnya memakai traktor atau padi digiling dengan mesin, itu tidak boleh,” tutur Abah. Karena itu pula, beras tidak boleh diperjual-belikan. Keseimbangan telah menjadi daya hidup Kasepuhan, yang simbol-simbolnya nampak dalam keseharian.

Kesegaran air sungai yang mengalir di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Nur Nindyo)

Malam itu, Lody Korua yang bertandang ke Kasepuhan disambut Abah Ugi dengan salaman dua kali. Tak seberapa lama, dua gelas air minum, air bening dan air keruh (kopi atau teh) terhidang. “Itulah keseimbangan,” ujar Yoyo Yogasmana, warga Ciptagelar. Yoyo, begitu sapaannya, memaparkan keseimbangan juga tersirat dari nasi yang dihidangkan, yaitu nasi putih dan nasi merah. Ekuilibrium kehidupan memang tidak dijelaskan secara konseptual, namun terpampang langsung dalam aktivitas harian.

Darah bertualang yang mengalir dalam tubuh Lody, menuntun dirinya untuk selalu menyambangi alam Ciptagelar. Hari itu, dari pusat peradaban modern Jakarta, lelaki berperawakan tinggi itu merambah jalanan terjal menuju Ciptagelar, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Palabuhan Ratu.

Mengendarai Mercedes Benz M Class Off-roaders ML 350 4MATIC, Lody menjelajahi segala medan jalan. Udara segar  beraroma belantara perawan memasuki ruang mobil lewat empat jendela nan lapang. Tetajukan pohon yang menjulang bisa dinikmati dari atap surya, sun roof, yang terbuka lebar di atas bilik kendara.

Lima belas tahun silam, petualang bernama lengkap Lodewijk Rainier Korua ini mulai bersentuhan dengan komunitas adat Ciptagelar. Sejak itu pula, Lody mengenal mendiang Abah Anom A.E. Sucipta, ayahanda Abah Ugi.  Rasa cintanya kepada alam raya menggembleng jiwa Lody untuk menghargai persahabatan antarsesama. Jalan hidup itu menuntun dirinya makin mengakrabi Abah Anom bersama komunitasnya.

Silahturami Lody dengan Abah Anom, yang mangkat pada 6 November 2007, kini terjalin secara spiritual. “Dulu kalau ke Kasepuhan saat malam hari saya merasa takut,” jelas Lody, “kini tidak lagi, karena merasa ‘ditemani’ Abah Anom.” Rimba raya di Halimun memang berselimut suasana mistis dan menjadi rumah terakhir bagi satwa pemangsa macan jawa, Panthera pardus.

Bersama Abah Ugi, dia menjalin pertemuan batin dengan berziarah ke pusara Abah Anom di Pangapungan—makam khusus untuk almarhum. Sebelum perjumpaan spiritual itu, Aki Karma, pemangku rorokan jero Kasepuhan menggelar ngahudang. “Ini ritual mempertemukan kerabat dan sahabat dengan Abah Anom yang bersemayam,” jelas Yoyo. Lody dan Abah Ugi tenggelam dalam pertemuan yang hening ini.