Diduga karena latar pendidikannya yang kurang memadai, Adolf Hitler sebagai pemimpin Nazi-Jerman, tidak pernah akrab dengan kaum intelektual. Ia bahkan membenci segala hal yang bersifat keintelektualan.
Sejak awal, dia telah memikirkan apa yang akan dilakukan pada kaum cerdik-pandai manakala dia telah berkuasa. Benar saja, tidak lama kaum Nazi memerintah, coretan di dinding banyak mencemooh kaum intelektual dan budayawan.
Penulis kenamaan seperti Thomas dan Heinrich Mann, Arnold dan Stefan Zweig, Franz Werfel, serta Jakob Wasserman, angkat kaki dari Jerman. Mereka disusul para pemikir seperti Walter Gropius, Mies van der Rohe, Marcel Breur.
Lalu diikuti para pelukis, aktris, akademisi, dan ilmuwan dari berbagai ilmu pengetahuan. Dua bulan setelah Hitler berkuasa, Joseph Goebbels sebagai Menteri Propaganda, mengumumkan bahwa kebudayaan dan politik akan disatukan. Ia membentuk Kamar Budaya Reich, di mana semua budayawan harus mau bergabung di dalamnya.Buku, musik, bangunanKaum Nazi kemudian membersihkan museum dari benda budaya yang dianggap "dekaden" serta benda lain yang dianggap tidak sesuai standar Nazi. Mereka juga rajin melancarkan razia dan pembakaran buku yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan Nazi.
Dengan sedih, penyair kenamaan Heinrich Heine berkata, "Manakala kamu membakari buku-buku, itu sama seperti kamu membakari orang-orang." Sementara dalam bidang musik, jenis musik seperti jazz juga dijadikan sasaran karena dianggap berbau Amerika yang dekaden dan Negro yang rasnya rendah.
Kaum Nazi menyukai arsitektur bangunan yang besar, kokoh, gagah, dan klasik dengan tiang-tiang berjejer, mirip barisan militer. Misalnya Gedung Rumah Budaya Jerman di Munich yang berisikan benda-benda seni yang melambangkan obsesi Nazi akan kekuasaan dan erotisme sederhana, seperti patung orang telanjang yang berotot.