Pemetaan, Syarat Awal Pengakuan Hak Masyarakat Adat

By , Kamis, 22 Agustus 2013 | 17:42 WIB

Indonesia akan menjadi penyelenggara Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat pada 25 - 28 Agustus 2013 di Samosir, Sumatra Utara. Peta wilayah merupakan pra-syarat utama untuk menyatakan keberadaan masyarakat adat dan menjadi alat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya mereka.

Selain itu, pemetaan partisipatif komunitas juga membantu mereka memanfaatkan tanah, hutan, dan sumber daya tersebut. Termasuk sistem-sistem pengetahuan tradisional, praktik-praktik manajemen perhutanan tradisional yang berkelanjutan, dan sumber-sumber kehidupan. Terpenting, membantu mengatasi konflik-konflik lahan atas hutan dan wilayah.

Dilansir dari rilis yang diterima Kamis (22/8), penyelenggaraan Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat tersebut hasil kerja sama Aliansi Masyarakat Adat (AMAN, www.aman.or.id) dan Tebtebba (www.tebtebba.org). Tebteba adalah pusat studi internasional Masyarakat Adat yang meneliti kebijakan dan pendidikan.

Keterlibatan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan konferensi global ini merupakan kelanjutan dari hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Isinya, tentang Kehutanan yang mengubah puluhan juta hektare hutan adat yang semula diklaim sebagai hutan negara, menjadi diakui keberadaannya sebagai milik masyarakat adat.

Menurut Abdon Nababan, Sekretaris Jendral AMAN, konferensi global adalah yang pertama setelah vakum selama hampir sepuluh tahun. Konferensi tersebut akan digunakan untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran dari perjalanan pemetaan wilayah adat selama ini di berbagai tempat di dunia.

Peserta konferensi global terdiri dari perwakilan-perwakilan organisasi-organisasi masyarakat adat dan komunitas-komunitas lokal dari Asia, Afrika, Amerika Latin yang telah melaksanakan pemetaan partisipatif dan inventarisasi sumber daya. Serta, organisasi non-pemerintah dan pakar-pakar pemetaan komunitas; dan perwakilan badan-badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ditambah dengan pemerintah-pemerintah terpilih yang juga memiliki pengalaman luas dalam mendanai atau melaksanakan pemetaan partisipatif. “Kami akan mengidentifikasi beberapa studi kasus dari Indonesia, Nepal, Filipina, Brasil, Peru, Nikaragua, dan Kenya. Kami juga akan mempelajari studi kasus dari beberapa organisasi-organisasi non pemerintah dan partner-partner RRI (Rights and Resources Initiative) yang berpengalaman dalam pemetaan komunitas,” kata Abdon.