20 Agustus 2013 terjadi badai matahari yang mengirim coronal mass ejection (CME) menuju Bumi. Dilansir dari NASA, CME ini akan sampai ke planet kita pada satu hingga tiga hari pasca-erupsi.
CME bisa menimbulkan fenomena cuaca yang disebut badai geomagnetik. Ini berdampak pada menurunnya sinyal komunikasi dan gangguan listrik. Sementara dampak terindahnya adalah kemunculan aurora.
Dikatakan peneliti astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, badai Matahari saat ini harus dipantau lebih mendalam. Sebabnya, badai Matahari mempengaruhi teknologi yang ditempatkan di antariksa seperti satelit. Sementara manusia modern sekarang ini, sangatlah bergantung pada teknologi tersebut.
"Perhatian pada CME dan aktivitas Matahari lainnya harus lebih tinggi dan jadi urgensi. Supaya kehidupan manusia modern tidak terganggu," ujar Thomas ketika ditemui pasca-menerima Penghargaan Sarwono Prawirohardjo XII di Gedung LIPI, Jakarta, Jumat (23/8).
Khusus di Indonesia, pengamatan Matahari terkait CME dilakukan menggunakan perangkat solar spectograf yang terdapat di fasilitas LAPAN di Sumedang, Jawa Barat. Penelitian komprehensifnya menggunakan data-data internasional.
(Lebih lengkap mengenai Gelora Amukan Baskara di tautan ini)
Indonesia, salah satu negara yang terletak di ekuator, memang tidak mengalami dampak yang terlalu besar akibat CME ini. Tapi ditegaskan Thomas, bahwa kita tetap harus awas karena masyarakat Nusantara juga pengguna jasa satelit.
"Kita harus waspada jika badai Matahari ternyata mengancam operasional yang kita manfaatkan untuk komunikasi dan pemanfaatan yang lain," kata Thomas.