Pulau Peucang, Keindahan nan Melekat di Ujung Barat

By , Sabtu, 31 Agustus 2013 | 11:00 WIB

Dalam koridor lingua Pasundan, Peucang bisa juga diartikan sebagai kancil. Masyarakat banyak mengatakan nama Peucang berasal dari nama sejenis siput yang ditemukan di hamparan pasir. Jauh sebelum letusan Gunung Krakatau menerjang Peucang, pada 27 Agustus 1883, pulau di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Jawa Barat, ini dihuni oleh masyarakat tani, dan dijadikan daerah pertanian. Ledakan dahsyat yang legendaris itu menjadikannya daerah perhutanan.

Posisi Peucang yang dihimpit oleh jalan masuk daerah Sumur, dan juga gerbang menuju luasnya Samudra Hindia, membuat kondisi lautnya tidak berombak, tenang dan menyejukkan. Kombinasi antara cakrawala yang bersih, pasir putih, gradasi warna laut dari hijau muda hingga biru tua, memberikan sebuah penyegaran tersendiri, tepat begitu Anda memijakkan langkah pertama di pulau ini.

Bicara harga, Anda harus me-nyediakan budget yang tidak sedikit, untuk mencapai ke pulau Peucang. Harga yang dipatok untuk perjalanan tiga jam sekali jalan dengan kapal motor nelayan sekitar Rp 1,5 juta.

Selama perjalanan itu pun ada kepercayaan setempat: pantang  ber-kata tidak senonoh dan buang air kecil dengan posisi berdiri. Konon pernah ada kapal nelayan yang seketika rusak dan berhenti berlayar, hanya karena salah satu penumpang melontarkan sumpah serapah setelah terciprat ombak di tengah perjalanan.

Mendengar kisah itu, saya berusaha menaati segala pantang, takut-takut ada salah ucap terlontar, yang bisa membuat perjalanan kami terhenti sebelum sampai di tujuan. Berada di tengah lautan, membelah ombak siang itu terasa sangat menyenangkan. Agaknya euforia itu hinggap karena ini adalah pulau atau pantai pertama yang kami sambangi, dari keseluruhan ekspedisi kali ini.

Dari kejauhan pula, saya menerka-nerka, mahluk apa yang berkeliaran ke sana ke mari di de-pan dermaga. Tebakan saya benar, Trachypithecus auratus auratus, nama Latin dari lutung, sedang berkumpul di depan dermaga, entah apa yang mereka lakukan.

Lutung adalah salah satu spesies, yang menjadi “penghuni tetap” pulau ini. Selain si mungil lincah itu, Anda juga bisa menemukan banteng Jawa, merak hijau, rusa, kijang, babi hutan, juga biawak. Sejumlah satwa unik yang tak akan Anda temukan di kehidupan keseharian, bisa Anda temui di pulau ini.

Keberagaman ini pun diakui dunia internasional— UNESCO menganugerahi Peucang, yang berada dalam kawasan TNUK, ini se-bagai salah satu situs alam warisan dunia. Kami diingatkan untuk selalu berhati-hati dengan kawanan lutung. Mereka iseng, mendadak mengambil barang-barang yang ada di badan orang-orang, seperti topi, kamera, kacamata, pena.

Soal akomodasi, hanya ada satu resor di Peucang, dengan restoran menghadap laut lepas. Meski tiap kamar di resor  yang dikelola oleh PT Wanawisata Alam Hayati, ini dilengkapi televisi dan pen-dingin ruangan, kami lebih memilih tidak mengaktifkannya. Di sini tidak ada sinyal telepon seluler, namun terdapat telepon darurat via satelit, yang dioperasikan dengan tarif tersendiri.

Berada di tempat seindah Peucang tanpa sinyal telepon selular, sama sekali tidak menjadi masalah. Saya mengistilahkannya sebagai, “Menikmati keterasingan yang amat mengasyikkan.”Semula, kami berencana mem-bu-ka kegiatan di sini dengan snorkeling, namun karena cuaca kurang mendukung, akhir-nya kami langsung menuju Cidaon, untuk bertualang di atas kano.

Lintas perairan dengan kano selalu men-jadi salah satu imajinasi saya sejak kecil. Kenikmatan membelah hutan bakau dan mengayuh kano sambil me-nyatukan imaji dengan bebunyian alam, hampir tidak bisa dicari gantinya.

Di atas kano yang bisa dipenuhi mak-simal 4 orang, saya mendayung perlahan dan memasang mata awas, kalau-kalau ada flora, fauna, atau pemandangan unik yang harus diabadikan via lensa kamera.

Selanjutnya, dari Cidaon, kami  menuju padang sabana. Tidak disediakan teropong untuk dapat melakukan pengamatam secara detail. Namun keberadaan banteng dan rusa yang saya lihat dengan mata telanjang benar-benar menyenangkan. Pada sore hari, kawanan banteng berjumlah lima hingga delapan, sering berkumpul di bawah pohon rindang hingga matahari terbenam.

Seharusnya, kami bisa melanjutkan perjalanan menuju Karang Copong, dan juga trekking ke bagian luar TNUK, namun ternyata waktu mendesak kami untuk kembali membelah lautan dan bergegas hinggap di destinasi selanjutnya. Peucang meninggalkan memori tersendiri di benak saya, semoga tetap menyublim di dalam hati, sampai pada akhirnya ada kesempatan lain untuk datang ke sana.