UU itu mengamanatkan pemerintah daerah di Jepang menata ulang kota mereka dengan memperhitungkan ancaman tsunami di masa datang. Salah satu konsekuensinya, pengosongan permukiman di kawasan terlanda tsunami dan direlokasi.
Berbeda dari Jepang, pembangunan Aceh setelah tsunami tak diikuti perubahan tata ruang. Rencana pengosongan kawasan pesisir terdampak tsunami, seperti diusulkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), gagal. Masyarakat Aceh kembali tinggal di pesisir, di tapak bencana yang sama.
Mantan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, banyak faktor yang membuat rencana induk itu sulit terwujud di Aceh.
Dinamika sosial, budaya, dan politik di Aceh sangat khas. Sebelum tsunami, wilayah itu provinsi termiskin keempat di Indonesia.
"Di Aceh sebelumnya juga ada konflik," katanya.
Baca pula refleksi satu dekade pascabencana tsunami Aceh, yang dikisahkan dalam feature NGI Desember 2014: Mengelak dari Sang Ombak.