Saat pemberontak Islamis membakar dua perpustakaan di Timbuktu awal tahun ini, banyak yang khawatir warisan manuskrip kuno kota ini turut dihancurkan.
Tetapi, ternyata banyak tulisan yang sudah diamankan dan diselundupkan keluar perpustakaan tanpa sepengetahuan pemberontak.
"Manuskrip ini sangat berharga bagi kami. Ini adalah pusaka keluarga. Sejarah kami, warisan kami,'' kata Dr Abdel Kader Haidara, pemilik salah satu perpustakaan pribadi terbesar Timbuktu, yang berisi banyak manuskrip Abad ke 16.
"Di keluarga kami ada banyak orang terpelajar dari generasi ke generasi dan kami selalu menjaga dokumen ini.''
Saat pemberontak Islamis mengambil alih kota Timbuktu tahun lalu, menjaga dokumen bersejarah ini terlihat seperti tugas yang tidak mungkin.
Di bawah peraturan Islam yang sangat ketat, para pemberontak mulai menghancurkan kuil-kuil yang mereka anggap ''musyrik''.
Dokumen yang disimpan di Timbuktu sejak masa keemasan sebagai pusat pembelajaran Islam di Abad 13 hingga 17 juga turut rentan dihancurkan.
Sebagai pencegahan, Haidara dan sejumlah keluarga pemilik buku lainnya, bersama pejabat Institut Ahmed Baba, melakukan penyelamatan dokumen koleksi utama, dan menyembunyikannya di kediaman pribadi.
Setelah penghancuran kuil, kemudian semakin jelas bahwa perlu ada langkah radikal yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dokumen tersebut.
"Kami menyadari butuh cara lain untuk membawa manuskrip kuno ini keluar dari Timbuktu sepenuhnya,'' kata Haidara.
"Itu sangat sulit. Ada banyak manuskrip. Kami membutuhkan ribuan kotak besi dan kami butuh bantuan dari luar.''
Dengan persetujuan dari 35 keluarga penting, Haidara kemudian mencari pendanaan, yang kemudian dia dapatkan diantaranya dari Yayasan Pangeran Claus di Belanda dan Kementerian Luar Negeri Jerman.
Perpustakaan kosong
Tetapi ada masalah utama lainnya, di mana pemberontak sering melakukan penggeledahan terhadap kendaraan yang meninggalkan Timbuktu, dan jika mereka menemukan naskah kuno itu maka akan disita dan dihancurkan.
"Itu sangat beresiko. Kami mengevakuasi manuskrip dengan mobil, gerobak dan kano,'' kata Haidara, yang menggelar operasi penyelamatan ini di bulan Oktober dengan menyembunyikan kotak besi penyimpan naskah kuno di bawah sayur-sayuran dan buah-buahan.
"Satu mobil hanya bisa membawa dua atau tiga kotak. Jadi kami melakukannya sedikit demi sedikit.''
Mobil kemudian menuju Bamako, melalui Mopti - kota terakhir Mali yang dikontrol pemerintah saat pemberontak Islamis menguasai kawasan utara.
Sementara dokumen yang diselundupkan dengan kano - bagian dari transportasi lokal di Mali utara selama berabad-abad - berjalan ke Bamako melalui sungai Niger, melalui Djenne.
Ketika para pemberontak membakar perpustakaan milik Institut Ahmed Baba Januari awal tahun ini, operasi penyelamatan telah berlangsung separuh jalan - dan perpustakaan itu sendiri telah dikosongkan selama berbulan-bulan.
Haidara memperkirakan hanya sedikit naskah kuno yang berhasil dihancurkan.
Masalah iklim
Saat situasi di utara masih bergejolak, bagaimanapun, operasi penyelamatan masih berlanjut selama tiga bulan setelah penarikan pemberontak, sampai 2.400 kotak besi berisi sekitar 285.000 naskah kuno telah terkirim ke rumah-rumah pribadi di ibukota.
Namun, di Bamako, dokumen tersebut masih menghadapi ancaman lainnya.
Dokumen yang diawetkan selama berabad-abad oleh iklim gurun kering tersebut berikutnya harus menghadapi cuaca tropik, dengan musim hujan segera datang.
"Rumah penyimpan tidak memiliki penyejuk udara dan kelembaban di Bamako lebih tinggi dari Timbuktu,'' kata Dr Michael Hanssler dari Yayasan Gerda Henkel Foundation.
Tidak mungkin bagi sirkulasi udara masuk ke dalam kotak besi tempat penyimpanan. Jamur biasanya berkembang di tingkat kelembaban 60%, dan tingkat kelembaban saat itu adalah 80%.
Beragam upaya sekarang tengah dilakukan untuk merenovasi sebuah bangunan di Bamako yang akan menjadi fasilitas penyimpanan yang layak.
Jendela juga ditutup untuk melindungi manuskrip dari cahaya matahari, serangga dan panas.
Juga akan terdapat ruang kerja dimana para ahli bisa menyimpan dokumen secara digital untuk keperluan riset bagi pelajar seluruh dunia.
"Naskah kuno Timbuktu selalu menjadi inspirasi bagi para pelajar yang mengkaji sejarah intelektual Afrika,'' kata Eva Brozowsky, seorang ahli restorasi kertas asal Jerman, yang telah bertugas di Bamako sejak April.
Warisan budaya Islam
Sekitar 2.000 dokumen yang dia akses bukan hanya berasal dari kawasan Islamis Utara dan Afrika Barat, juga dari Timur Tengah, dan berisi tentang hubungan diplomatik dan perdagangan, termasuk kajian Al Quran, bahasa dan hukum Arab.
"Ini adalah harta karun yang sangat bermanfaat dengan nilai yang tidak terkira, tidak ada yang tahu apa yang tersembunyi di dalam peti ini,'' tambah Hanssler.
Manuskrip ini tidak pernah disimpan dalam kondisi optimal, kata Hanssler.
"Beberapa dokumen telah rusak akibat termakan usia akibat serangga atau air. Sejumlah lainnya disebabkan oleh udara kering Timbuktu, dan sampul kulitnya menjadi lapuk dan retak.''
Sejumlah tulisan dalam naskah kuno ini juga terlihat memudar.
Haidara sendiri memperkirakan sekitar 20% manuskrip dalam keadaan rusak parah dan sangat rapuh, sementara 20% lainnya mengalami kerusakan yang lebih ringan.
Sementara situasi keamanan di Mali utara masih belum jelas, naskah kuno ini akan tetap disimpan di Bamako, tetapi Haidara belum mengetahui apakah dokumen ini akan dibawa ke luar negeri.
"Di hari saat masih ada bagian tersisa dari Timbuktu, kami akan mengembalikannya ke Timbuktu. Tetapi sampai hari itu tiba kami harus menjaganya - memasukkannya ke dalam kotak, menyimpannya, dibuat daftar buku dan menyelamatkannya dalam bentuk digital.''
Saat manuskrip ini kembali, tidak akan menggunakan kano atau di bawah tumpukan sayur lagi, dan diharapkan dalam kondisi yang lebih baik dari saat mereka dibawa pergi.
(Baca juga: Manuskrip Kuno Diselamatkan dari Pembakaran Militan dan Kisah Para Penulis)