Pemuncak Denali dan sekaligus pencatat rekor Tom Choate (baca kisah sebelumnya: Pendaki Tertua Denali), menyadari betapa dahsyat perubahan pada gunung itu.
"Perubahan fisik, seperti jumlah salju di atas puncak, yang paling mencengangkan," kata Tom. Padahal dulu Denali pernah dikenangnya sebagai "sebuah buncahan bukit besar es dan salju".
Dampak perubahan iklim serta perubahan lingkungan begitu signifikan karena sekarang wajah pegunungan berganti. Menjadi lereng curam berbatu yang kehilangan salju. Batu-batu yang longsor lebih parah daripada sebelumnya, mengancam siapa saja yang melintasi bagian bawahnya.
Perubahan lain yang dicatat Tom adalah keberadaan manusia di area tersebut. Bertahun-tahun sesudah penjejakan pertama, setiap kali Tom kembali ke "gunungnya", jumlah pemuncak telah meningkat pesat. Kemudahan akses serta glorifikasi terhadap pendakian gunung dalam masyarakat modern telah berimbas pada banyaknya orang yang berlomba-lomba menuju puncak.
"Banyak pendaki melakukannya dengan pengalaman yang minim dan demi kehausan akan pengakuan dan penghormatan," ujarnya mengenai apa yang terjadi di Denali, sebagaimana Everest dan tujuh puncak benua lainnya saat ini.
Lagipula, 50 tahun lalu keadaan di tempat itu masih sangat liar. Tidak ada Park Service di pegunungan, tidak ada satuan-satuan penyelamat, tidak ada radio, tidak ada lapangan terbang.
Tak pelak, untuk mendakinya dibutuhkan keuletan tubuh serta pikiran. "Jika Anda bertekad untuk masuk ke dalam wilayah pegunungan, Anda sepenuhnya melakukan secara mandiri atau gugur," tutur Tom Choate.
Denali telah dan akan terus berubah dan bertambah padat di masa depan. Namun satu hal yang pasti, setiap manusia yang menapaki gunung—terlepas dari berbagai tingkat keterampilan ataupun tujuannya—punya kesadaran mendalam yang mendorong pencarian jati diri di tengah kebesaran alam, di belantara dunia di mana kita hidup.