Tak seorang pun mau mati dalam keadaan menderita, sekali pun dia adalah seorang tentara yang sedang bertempur. Boleh jadi inilah semangat yang menjiwai Protokol untuk Larangan Penggunaan Zat Penghambat Pernafasan, Racun, atau Gas lainnya. Serta Peperangan dengan Metoda Bakteriologi dalam Perang yang dikeluarkan tahun 1925.
Protokol yang disahkan banyak negara ini danggap penting untuk diterbitkan mengingat pada masa Perang Dunia I, sejumlah negara ketahuan sudah mulai mencoba menggunakan senjata kuman, gas, dan racun untuk memusnahkan lawan.
Penggunaan senjata semacam itu dipandang mengerikan dan harus dilarang mengingat daya bunuhnya bisa menjangkau wilayah yang amat luas. Potensial pula digunakan untuk merusak dan mengancam daerah, wilayah, atau negara yang tidak ada sangkut-pautnya dengan konflik yang sedang terjadi. Material mengerikan macam ini bisa ditebar oleh peledak atau "dikirim" dengan roket pelontar, wahana serupa yang biasa digunakan juga dalam peperangan masif.
Senjata kimia, biologi, dan nuklir bisa dibilang berawal dari senjata pembakar yang telah digunakan sejak zaman Bizantium. Karena efek api yang mematikan, selanjutnya diramulah campuran unsur kimia dan komponen aditif lain dengan efek yang lebih dahsyat.
(Baca: Semburan Api Pembungkam Manusia di Bungker)
Di antara yang digunakan adalah fosfor sebagai pemantik, magnesium sebagai komponen metal, thermite sebagai pecampur piroteknik, dan napalm sebagai penebar api. Setelah itu, barulah ahli kimia dan fisika mencoba nuklir.
Sejak dasawarsa 1990-an. sejumlah perkembangan menarik bahkan telah terjadi di sejumlah negara di mana senjata semacam ini bisa dan telah disusupkan ke dalam tas atau bungkusan eksplosif ke sasaran-sasaran tertentu dengan cara yang amat sederhana untuk tujuan teror.
Meski material yang ditaruh di dalamnya hanya berupa sampah kimia, biologi, dan nuklir, senjata yang biasa disebut "dirty bomb" (bom kotor) ini tak kurang mematikan dibanding senjata-senjata serupa yang dikemas dengan perangkat teknologi tinggi.