“Wahai keris pusaka, keris leluhur, mari kita jalani kematian nan agung!” seorang kesatria memekik lantang, sembari menghunus keris. Tubuhnya yang tinggi tegap dibalut busana prajurit Bali kuno. Bukan, sang kesatria bukan sedang berlaga di medan perang, melainkan di dalam sebuah ruang di Museum Nasional Jakarta. Keris yang digenggamnya pun bukan keris sembarangan. Berusia lebih dari seratus tahun, merupakan salah satu koleksi museum yang digunakan Dewa Agung Jambe, Raja Klungkung Bali saat melawan kaum kolonial Belanda dalam Perang Puputan, pada 1908.Sang kesatria tak lain Rangga Riantiarno, aktor kondang dari Teater Koma. Aksinya bermonolog dalam lakon teater mini bertujuan untuk menarik minat masyarakat berkunjung ke museum.
Aksi teater mini di museum ini digagas oleh Yudhi Soerjoatmodjo, pegiat industri kreatif Indonesia. Menurut pria yang pernah berkiprah di Galeri Foto Jurnalistik Antara ini, ”Pengunjung museum ada, tetapi sangat sedikit interaksi.” Misi agar Museum Nasional menarik dikunjungi terus digiatkan oleh mantan Manager Kreatif British Council yang berada di balik sukses video mapping di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah ini. Bersama rekan-rekan kreatifnya, ia berkolaborasi dengan Museum Nasional dan Teater Koma.Maka digagaslah teater mini di mana masyarakat bisa berinteraksi dengan museum, sekaligus memberikan apresiasi. Bukan sekadar datang untuk melihat-lihat, juga tahu kisah dan pernak-pernik di balik koleksi museum dengan cara yang tidak membosankan. “Acaranya jadi menarik, ya. Biasanya kita cuman lihat-lihat aja tapi dengan dipentaskan sebuah teater mini kita bisa tahu bahwa peristiwa yang sebenarnya itu seperti apa,” Dwi Hasanah, salah seorang pengunjung museum memberikan kesannya. “Museum kan, sangat membosankan. Tapi dengan adanya acara ini jadi seru banget,” lanjutnya lagi.
Teater mini dipentaskan saban Minggu selama September 2013 di Museum Nasional, tiga kali dalam sehari, pukul 8.30, 9.15 dan 10.00 WIB. Tertarik menyaksikan? Terlebih dahulu lakukan reservasi melalui media sosial Facebook grup “Akhir Pekan di Museum” dan Twiter @museum_weekend.Saban Minggu, teater mini dipentaskan di ruang berbeda. Pentas perdana (8/9)—yang dibanjiri pengunjung—digelar di lantai empat di mana dipamerkan barang-barang bersepuh emas, antara lain keris-keris dan senjata pusaka. Minggu berikutnya (15/9), lakon Samurai Bersepeda siap dipentaskan di lantai dua yang menyimpan koleksi model alat transportasi di Indonesia. “Ini suatu terobosan juga bagaimana museum mendekatkan diri dengan pengunjung,” kata Nusi, perancang pameran Museum Nasional. “Selama ini kan, hanya pameran, tetapi untuk interaksi dengan pengunjung jarang seperti ini.” Lebih jauh, ia menambahkan, kelak akan ditampilkan pentas yang komplet, bukan sekadar monolog.
Pentas teater secara prinsip bisa digelar di mana saja. Di mata Ratna Riantiarno, pentolan Teater Koma, berpentas di museum—bermitra dengan museum—merupakan tantangan tersendiri. “Selama ini, orang beranggapan ke museum itu harus hati-hati, tidak boleh ini itu. Banyak anggapan museum itu sunyi dan membosankan. Bayangin sekarang museum ada pertunjukan!” Tepatnya, ada kehebohan di museum!