Mendesak, Tata Kelola Hutan Indonesia

By , Selasa, 10 September 2013 | 14:11 WIB

Sekelompok aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, mendesak pemerintah untuk memperjelas langkah-langkah yang akan ditempuh guna menyelesaikan berbagai masalah di tata kelola hutan di Indonesia dengan target utama penurunan emisi gas rumah kaca.

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan mencapai 41 persen dengan kerjasama internasional, dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (business as usual).

Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (9/9) lalu, pihak koalisi menyerukan strategi untuk reformasi secara mendasar tata kelola hutan dan lahan gambut menjadi lebih demokratis, adil, dan lestari demi keselamatan lingkungan dan masyarakat.

Mereka menyampaikan aspirasi agar konflik-konflik kehutanan yang tersisa dan tertuang di Strategi Nasional Reduksi Emisi dari Deforestasi Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+) benar-benar dituntaskan dan memastikan kepatuhan semua institusi dalam pelaksanaannya.

Di dalam Strategi Nasional terkandung antara lain soal perizinan, penegakan hukum, kasus hak wilayah hutan masyarakat adat. Badan Pengelola REDD+ terbentuk pada 2 September 2013 melalui penetapan Peraturan Presiden No. 62/2013.

Di tengah kondisi pengelolaan hutan yang saat ini "sakit", Badan REDD+ sebetulnya diharap dapat membawa terobosan perbaikan dan angin segar untuk mengubah paradigma dan mereformasi sistem pengelolaan hutan. Proses pembentukan Badan REDD+ sendiri makan waktu hingga lebih dari dua tahun.

Air sungai yang masih jernih membuktikan betapa terpeliharanya kawasan hulu Malinau, salah satu kabupaten pada Provinsi Kalimantan Utara—disahkan pada Oktober 2012 (Tantyo Bangun/National Geographic Indonesia)

Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo pada pernyataan saat Badan REDD+ baru terbentuk, mengatakan, sebagaimana dilansir Mongabay Indonesia, proses mendirikan badan ini berlangsung lama dan menyeluruh.

“Badan REDD+ bukti upaya global mengurangi emisi, melestarikan hutan Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, dan akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang hidup bergantung kepada sumber daya hutan," ujarnya.Namun, badan ini menunjukkan berbagai kelemahan inheren sejak lahir sehingga memicu pertanyaan akan keseriusan pemerintah mereformasi tata kelola hutan.

Teguh Surya dari Greenpeace, bertutur, Badan REDD+ minim terobosan karena walaupun tugas dan fungsi regulasi ini cukup jelas sebagai sebuah badan setingkat menteri di bawah Presiden, tapi belum cukup untuk menyelamatkan hutan Indonesia yang masih ada, memberi perlindungan bagi hutan tambahan serta menyokong pemulihan lingkungan hutan.

Ia menyampaikan, muatan Perpres No. 62/2013 juga mengandung jebakan definisi, mengartikan deforestasi sebagai "perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi berhutan". Maka, pembukaan hutan tanaman industri (HTI) maupun kebun sawit bisa menjadi tidak termasuk di dalam definisi deforestasi.

"Kompleksitas permasalahan kehutanan di Indonesia tidak dapat diperbaiki hanya dengan proyek REDD+, berapa pun besar nilainya," tambah Deddy Ratih Bioregion & Climate Campaigner Walhi.

"Kecuali diikuti dengan perombakan mendasar pada lembaga-lembaga di sektor seperti kehutanan, pertambangan dan pertanian/perkebunan." Terkait mekanisme pendanaan; koalisi berpandangan sumber pendanaan harusah mandiri dan menolak bentuk yang terikat, supaya independen dan berdaulat.

Baca juga: Berderap Bersama demi Hutan Lestari