"Bajingan mereka itu! Aku tertipu! Bagus sekali, bekas Kapten Westerling tidak pernah ditemukan kembai, dilahap ikan hiu di lepas pantai Malaysia. Tidak ada cara yang lebih bagus untuk menyingkirkan pengacau."
Umpatan kasar dari Raymond Pierre Paul Westerling, mantan komandan pasukan Belanda yang membunuh rakyat Sulawesi Selatan tahun 1946-1947, kala perahu karetnya dikelilingi hiu sekitar tiga mil dari pantai Singapura, 22 Februari 1950.
Usaha putus asa Westerling ini dilakukan demi lari dari jerat hukum Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau tentara Belanda sendiri. Ia dianggap bersalah atas aksinya di Sulsel dan mencetuskan peristiwa Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pemberontakan ini sebenarnya bentuk kerja samanya dengan Letnan Jenderal Spoor yang kecewa dengan situasi politik yang merugikan Belanda di Indonesia. Westerling, secara pribadi, membangun citra diri yang menakutkan, menembak siapa saja di depan umum.
Saat menjadi komandan pasukan Belanda di Sulsel, Westerling awalnya diminta menindas perlawanan rakyat. Tapi yang terjadi adalah ia menegakkan "Mahkamah Militer Rakyat". Caranya?
Dengan mengumpulkan seluruh penduduk dalam satu lapangan, mengancam semuanya, memaksa mereka menunjuk kaum gerilya. Celakanya, warga yang ketakutan bakal menunjuk siapa saja demi menyelamatkan nyawa masing-masing. Namun, Westerling tidak perduli dan bakal mengeksekusi mereka yang ditunjuk sebagai gerilyawan.
Pria yang kadang dijuluki Turco karena di nadinya mengalir darah Turki ini juga dengan culas membunuh bangsawan bernama Raja Suppa Muda dan pamannya, Raja Suppa Tua. Menurut adat setempat, darah bangawan tidak boleh mengalir, maka Westerling menenggelamkan keduanya.
Kekejaman Westerling diyakini memakan korban 40 ribu jiwa. Tapi dari hasil penelitian Angkatan Darat tahun 1951, jumlah korban yang tewas menyusut, hanya 1.700 orang. 500 orang di antaranya adalah korban Barisan Penjaga Kampung --milisi tidak terlatih yang dipersenjatai Westerling.
Atas kebengisan inilah pemerintah Belanda menyatakan permintaan maafnya pada Kamis, 9 Agustus 2013 lalu. Selain itu diberikan ganti rugi berupa materi.
Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Pondakh, selaku pendamping kasus ini, menyatakan permintaan maaf dari Pemerintah Belanda harus dilakukan karena, "Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda, dengan kata lain Pemerintah Belanda ikut bertanggung jawab."
Dari segi materi, ada sepuluh janda korban penembakan yang akan menerima ganti rugi sebesar US$2.7000 atau Rp277,6 juta per orang. Pengacara para janda dalam kasus pembantaian di Sulawesi Selatan, Liesbeth Zegveld, mengatakan, para janda ini mencari keadilan atas meninggalnya suami mereka.
Perkara ini diselesaikan dengan kesepakatan yang dasar penyelesaiannya mengacu pada kasus kekejaman serupa. "Kami gembira dengan hasil ini, tapi ini hanyalah langkah kecil dalam sebuah proses yang besar: Pemerintah Belanda harus meminta maaf terhadap semua kasus pembantaian dan eksekusi di Indonesia," kata Zegveld seperti dikutip dari AFP.
Pertemuan antara pihak korban dan Belanda dijadwalkan terjadi hari ini, Kamis (12/9). Namun karena masalah usia dan kesehatan, para janda ini kemungkinan diwakili dalam pertemuan. Westerling sendiri wafat dalam usia 68 tahun. Dengan terlebih dulu luntang-lantung di Eropa sebelum kembali ke Belanda. Kisah lengkapnya di Westerling Pernah Jadi Juragan Angkutan Bandung-Jakarta