Pada bulan Desember 1948, militer Belanda yang masih bercokol di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, melancarkan agresi militer kedua bersandi Operation Kraai. Serbuan militer yang dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda yang berkuasa di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, itu langsung menggegerkan rakyat Indonesia yang baru tiga tahun memproklamirkan kemerdekaan.
Operasi serbuan udara dilanjutkan serbuan darat oleh pasukan Belanda itu segera diketahui oleh Panglima Besar Sudirman (Pak Dirman) yang sedang berada di markasnya, Jalan Bintaran, Yogyakarta, sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Pada saat itu Pak Dirman sedang dalam kondisi sakit setelah menjalani operasi paru-parunya akibat terserang penyakit TBC.
Menanggapi serangan Belanda itu, Pak Dirman kemudian mengeluarkan Perintah Siasat agar semua pasukan BKR tetap melakukan perlawanan melalui perang gerilya. Sudirman juga sempat menghubungi Presiden, Wapres, dan para stafnya untuk segera meninggalkan Yogyakarta, tapi himbauan Pak Dirman itu ternyata ditolak.
Presiden Sukarno dan para staf seperti sejumlah menteri memilih bertahan di kota dan akhirnya ditawan oleh militer Belanda untuk selanjutnya diasingkan di Sumatra serta Bangka. Salah seorang anggota staf penting di lingkungan Sekretariat Markas Panglima Besar yang juga pengawal pribadi Pak Dirman, Kapten Tjokropranolo, yang lebih akrab dipanggil Pak Nolly, segera mengontak Penasehat Politik Panglima Besar, Harsono Tjokroaminoto, yang juga mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III (1946-1947) untuk segera menghadap.
Kebetulan Harsono waktu itu juga sedang terserang penyakit desentri dan selama seminggu hanya bisa terkapar di tempat tidur. Istri Harsono yang menerima telepon dari Nolly kemudian menjawab bahwa suaminya belum bisa bangkit. Tapi karena kondisi sedang genting Nolly tetap mengharuskan Harsono hadir di markas dan akan dijemput oleh sopir menggunakan mobil Panglima Besar.
Selama perjalanan menuju Bintaran, bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur Belanda terutama di sisi timur kota di seputar kawasan Maguwo ledakannya terasa makin mendekat. Tujuan bombardemen Belanda itu selain mencari sasaran yang bernilai militer, juga bertujuan meruntuhkan moril tempur pasukan Indonesia agar tidak bisa memberikan perlawanan.
Tapi karena Bintaran lokasinya masih dekat keraton dan militer Kerajaan Belanda masih sangat menghormati Keraton Yogyakarta sebagai wilayah netral, tak ada satu bom pun yang jatuh di seputar kawasan keraton. Ketika tiba di kediaman Pak Dirman, Harsono langsung menuju kamar tidur Pak Dirman yang waktu itu ditunggui oleh Nolly.
Dalam kondisi fisik yang lemah Pak Dirman menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi di Yogya dan sebagai panglima besar yang juga menjadi incaran militer Belanda, ia memutuskan meninggalkan Kota Yogyakarta. Tujuan utama perjalanan Pak Dirman dan rombongannya adalah daerah Gunung Kidul, kawasan berbukit-bukit yang sangat efektif untuk bersembunyi sekaligus melancarkan perang gerilya.
Namun, untuk meninggalkan Yogyakarta yang mulai dikepung pasukan Belanda dan bombardemen yang terus berlanjut, tidak mudah. Sebagai penasehat, Harsono lalu menyarankan agar rombongan Pak Dirman mencari tempat persinggahan di luar benteng Keraton Yogyakarta yang dikenal sebagai Mangkubumen.
Berdasarkan kesepakatan, rombongan Pak Dirman yang terdiri dari dokter pribadinya, Dr Suwondo, Tjokropranolo, ajudan Supardjo Rustam, dan Harsono lalu berangkat ke Mangkubumen yang saat itu ditinggali ibu-ibu dari Keraton. Sebagai bangunan milik Sultan Yogyakarta, Mangkubumen masih merupakan properti yang tidak diganggu oleh militer Belanda sehingga persinggahan rombongan Pak Dirman dijamin aman.
Untuk menghindari patroli militer Belanda yang saat itu sudah berada di daerah Kauman dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Mangkubumen, rombongan Pak Dirman yang menggunakan sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Tjokropranolo, yang bertugas sebagai penunjuk jalan, duduk di atas spakbor. Bagi Tjokropranolo kawasan selatan Yogya bukan merupakan daerah asing karena sewaktu masih bersekolah di Yogya, ia sering bermain di Bantul apalagi pamannya pernah menjabat sebagai Bupati Bantul.
Semula Tjkropranolo berniat membawa Pak Dirman ke Pantai Parangtritis (Bantul) dan bersembunnyi di goa, tapi karena Pak Dirman sedang sakit rencana itu dibatalkan dan kemudian diputuskan untuk bersembunyi di kawasan Gunung Kidul.
*Artikel lengkapnya bisa dibaca di Majalah Angkasa edisi Februari 2013/