"Dari kegelapan gua, ada kehidupan yang penting."
Demikian diungkapkan Yayuk R Suhardjono, pakar biospeleologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam pemaparan keanekaragaman fauna gua di Institut Pertanian Bogor Dramaga, Ciampea, Bogor (18/9).
Namun, di Indonesia bidang biospeleologi baru mengeksplorasi fauna. Potensi mikroba (jasad renik) sama sekali belum tersentuh. "Mikrobiologi gua tantangan buat kalian, generasi muda," ujar Yayuk kepada para mahasiswa pecinta alam berbagai universitas yang mengikuti seminar.
Keunikan ekosistem gua, yang berbeda dari ekosistem lainnya yang di atas tanah, membuat beragam fauna yang ditemukan di dalamnya pun sangat menarik. Selain unik secara morfologi, biodiversitas gua juga penting dikaji karena informasi mengenainya belum cukup banyak.
Tapi fauna gua amat rentan perubahan lingkungan. Sebagian besar fauna gua berukuran kecil bahkan mikro sehingga mudah terinjak. Padahal, perannya bisa jadi besar.
Fauna gua sensitif akan cahaya dan kebisingan. Pengambilan spesimen juga riskan, karena invertebrata gua memiliki tingkat endemisme tinggi dan populasi kecil dalam suatu sistem gua.
Pemadatan tanah mengurangi aerasi dan kemampuan organisme gua untuk menembus lapisan tanah, pendangkalan kolam gua, dan meningkatkan kekeruhan dan suspensi partikel.
"Biota itu bernilai tinggi sebagai indikator hayati keadaan lingkungan. Sebetulnya manfaat itu besar sekali. Kalau ditambang, nilainya hanya saat sekarang, tapi 100 tahun dari sekarang? Tidak mungkin. Sementara kehidupan ini berkelanjutan."
(Baca juga: Habis Karst Terbit Nestapa)
Daya dukung gua
"Kalau mau masuk gua ramai-ramai untuk observasi pemetaan biota gua, jalanlah pelan-pelan, perhatikan tiap genangan. Yang kelihatannya tenang, bisa mengandung banyak spesies. Itu kita harus telaten," terang Yayuk lagi.
Maka dalam urusan wisata gua, perlu pengelola memahami beberapa hal terkait daya dukung gua, seperti harus tahu berapa kapasitas (caring capacity) guanya dan menjaga keutuhan habitat —tak diusik. "Apabila gua yang sudah dimodifikasi, bagi kami orang [peneliti] biologi tidak masuk hitungan, karena sebagian besar biota sudah hilang," imbuhnya.
Arzyana Sunkar, pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, untuk wisata gua yang benar, buatlah aturan mainnya agar wisata kawasan bentang alam karst tetap sejalan dengan perlindungan sumber daya.
Disebut ahli konservasi ini — hindari menciptakan perubahan sirkulasi udara di dalam gua; hindari merusak struktur ornamen gua dan formasi gua; pencahayaan sebaiknya memiliki spektrum emisi minimal (sekitar 440-650 nm) sehingga tidak dapat terserap oleh klorofil untuk menghindari pertumbuhan lampenflora (lumut, alga, pakis); kunjungan ke gua yang belum dikelola harus ditemani pemandu; dan monitoring kondisi mikroklimat gua perlu dilakukan.