Secara geografis, Pantai Klayar terletak di wilayah Kecamatan Donoroko, Kabupaten Pacitan. Bila beranjak dari Kota Pacitan, jarak yang harus ditempuh terbentang sepanjang sekitar 35 kilometer. Cuaca pun terlihat cerah, mendukung pelesir kami ke pantai andalan para peselancar.
Setelah menempuh beberapa waktu, akhirnya penunjuk jalan menginformasikan bahwa kami sudah mendekati kawasan Pantai Klayar. Pemandangan di depan saya mengisyaratkan bahwa memang perjalanan kami sebentar lagi sudah meraih tujuannya.
Hutan lebat yang tadinya setia menemani kami, kini sudah berganti menjadi langit luas, dengan pohon-pohon kelapa menghiasi. Tikungan tajam ada di setiap sepuluh detik perjalanan kami, ditutup dengan turunan lurus yang menjulang cukup curam, dan dari balik jalan itu terbentanglah pemandangan maha karya yang membuat saya dan tim terbelalak.
Pantai Klayar membentang begitu anggunnya, dipadu dengan pahatan ka-rang dan bebatuan yang nyaris sempurna. Pasir putih bersih diterpa gulungan ombak yang perkasa. Walaupun masih di dalam mobil, adrenalin saya terpacu, dan tanpa sadar saya mengembangkan senyum.
Seketika semangat untuk men-jelajahi pantai ini muncul tanpa di-undang. Pak Wawan memarkirkan ken-daraan, mencari tempat yang teduh agar bisa mengistirahatkan mobil dari teriknya matahari, siang itu. Entah kenapa melihat pantai ini, saya merasa menjadi anak kecil lagi. Keinginan untuk bermain dan menghabiskan waktu di pantai ini seolah tak terbendung.
Walaupun perjalanan masih belum meraih titik akhirnya, Klayar dapat dengan mudah membuat saya jatuh hati. Di sekeliling Klayar, tidak tersedia penginapan atau restoran mewah. Yang ada, hanya kamar mandi umum dan warung-warung makanan sederhana.
Klayar memang tidak pernah ramai. Seramai-ramainya pantai ini, hanya ada sekitar 50 orang yang mendatanginya. Mungkin karena aksesnya dan tidak adanya akomodasi yang memadai, membuat orang enggan meng-habiskan ha-rinya ter-lalu lama. Kebalikan dengan saya, melihat keadaan pantai yang begitu menggiurkan, saya malah ingin menetap selama mungkin.
Fotografer Hafidz mengajak saya untuk menyisir pantai lebih jauh lagi. Sepanjang penglihatan saya, sampah yang tergeletak hanya sekadar ranting-ranting pohon atau dedaunan. Bibir pantai yang melebar ke samping, membawa saya menelusuri jejak pasir putih. Ternyata, setelah diikuti cukup jauh dari perairan pantai, dapat dijumpai sebuah muara sungai.
Aliran air yang mengalir dalam tubuh sungai merendam kaki saya sampai cukup tinggi. Celana pendek yang saya kenakan agak basah terkena limpasannya, namun rasa penasaran yang melanda, terus mencambuk semangat kami untuk terus melangkahkan kaki.
Setelah berjalan lebih jauh lagi, di balik pantai itu terdapat batu-batu karang indah yang berjajar. Garis pantai yang melengkung, membuat ombak yang menerpa terkesan lebih besar, namun pantai yang ada di area ini jauh lebih berbahaya dibandingkan di depan pintu masuk.
Penyebabnya adalah batu-batu karang tajam, jauh lebih berbahaya. Akan tetapi, Anda tetap bisa bermain air di sini, asal tetap berhati-hati.
Di kawasan batu karang yang luas itu, ternyata ada satu fenomena menarik yang saya temukan. Warga setempat menyebutnya seruling laut. Yang dimaksud dengan seruling laut adalah ketika angin berhem-bus menerpa celah-celah batu karang. Bunyinya akan seperti siulan manusia. Saya meniti langkah, berusaha untuk meraih dataran yang lebih tinggi di kompleks batu karang itu.
Saat mencapainya, ternyata di balik batu-batu yang menjulang itu terhampar lautan lepas dengan hantaman ombak besar. Merasa tidak aman, saya langsung turun lagi, dan menikmati laut dari hamparan pasir.
Rasa puas dan bangga terhadap alam ne-geri sendiri, tidak bisa saya sembunyikan. Saya berkali-kali mengutarakan kekaguman saya terhadap Pantai Klayar, dan keinginan untuk kembali.
Kisah lebih lengkap perjalanan ini pernah diangkat dalam National Geographic Traveler edisi April 2011.