Siang itu, matahari mulai mengarah ke sisi barat langit, sorot sinarnya yang terhalang dahan pepohonan menghasilkan bayangan yang jatuh tak beraturan di atas putihnya pasir Pantai Sendang Biru, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di pantai ini puluhan perahu berbaris rapi, baik perahu wisata maupun perahu nelayan.
Setelah semua peralatan siap, saya dan rekan perjalanan berjalan menuju ke Resort Konservasi Wilayah Cagar Alam Pulau Sempu yang terletak hanya sekitar 150 meter dari bibir Pantai Sendang Biru. Di depan kantor yang berada di bawah naungan Kementrian Kehutanan, ini tampak belasan mahasiswa berkumpul.
Mereka menyampaikan Simaksi atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi yang sudah mereka urus sebelumnya. Izin ini dikeluarkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Sekditjen PHKA) atau oleh Kepala Unit Pelak-sanaan Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam setempat.
Simaksi dapat diterbitkan maksimal lima hari kerja, setelah pengajuan berkas persyaratan dengan masa berlaku selama tiga bulan dan dapat diperpanjang. Pak Setyadi, salah seorang polisi hutan yang bertugas di kantor ini, menyapa kami. Ini adalah pertemuan pertama kami, setelah sebelumnya hanya berkomunikasi melalui telepon.
Sambil menunggu Mas Dian, petugas polisi hutan lainnya, saya mengobrol dengan Pak Setyadi di warung di tepi pantai. Beliau mengeluhkan adanya salah persepsi sebagian masyarakat ter-hadap Cagar Alam Pulau Sempu yang sejatinya bu-kan obyek wisata. Maraknya tulisan blog di dunia maya tentang “berwisata” ke Pulau Sempu membuat para petugas hampir setiap hari harus memberikan penjelasan panjang lebar dan meluruskan pengertian para pengunjung yang keliru.
Tak lama, datang sebuah perahu nelayan yang kami menyeberang. Tidak sampai 30 menit, kami sudah tiba di Teluk Semut, “gerbang” Pulau Sempu. Harus diakui, tidaklah mudah menyusuri jalan setapak berlumpur disertai batu karang tajam di sana-sini. Terlebih ketebalan lumpur bisa mencapai mata kaki hingga betis. Untungnya sulur batang dari sejumlah tanaman yang melintang sangat membantu sebagai pegangan tangan untuk menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terjerembab ke lumpur.
Selama sekitar dua jam perjalanan, Mas Dian sesekali menyapu pandangan ke arah sejumlah pohon tua berukuran besar. Ia sepertinya hafal pepohonan yang ada, hingga bisa menceritakan jika ada pohon yang tumbang. Penyebabnya, antara lain badai besar atau tiupan angin kencang. Karena itu, pemilihan waktu berkunjung di musim kemarau sangat dianjurkan. Selain alasan meng-hin-dari badai, di musim kemarau, jalan setapak tidak terlalu becek dan biasanya pemandangan terlihat lebih indah dengan langit yang biru.
Kami berhenti di beberapa titik-—antara lain saat kami menemukan sejumlah vegetasi asli, seperti pakis dan jamur, atau saat disapa oleh “penduduk asli” lutung dan monyet.
Perjalanan membelah kawasan ca-gar alam seluas sekitar 877 hektare ini terasa tidak membosankan, karena semakin lama suara debur ombak pantai selatan yang menghantam karang terdengar semakin keras. Seakan “memanggil” saya untuk segera sampai di salah satu titik paling selatan dari Indonesia.
Akhirnya semua keringat dan lumpur yang menempel di badan terbayar su-dah, begitu kaki menjejak hamparan pasir putih bersih yang bersambungan dengan air yang tenang dan berwarna biru muda, Laguna Segara Anakan memang indah! Laguna ini bagai taman firdaus yang tersembunyi di balik ganasnya karang dan tingginya bukit yang mengepungnya.
Tidak lama kemudian, Teguh dan Pak Setyadi pun tiba, kami bercengkerama membuka bekal sederhana teh dan roti untuk dinikmati di sisi laguna, yang saking sepinya, serasa pantai pribadi. Hari semakin senja, mega berwarna lembayung berarak mewarnai langit biru yang menjemput malam, karang-karang pantai selatan seakan terduduk manis di ufuk barat semakin memperindah momen matahari tenggelam di Samudra Hindia.
Kisah lebih lengkap perjalanan ini pernah diangkat dalam National Geographic Traveler edisi April 2011.