Mencari “Mandra” di Kota Tua Jakarta

By , Jumat, 20 September 2013 | 18:35 WIB
()

Menyambangi  kawasan Kota Tua Jakarta, pada suatu pagi, menikmati wajah Jakarta semasa muda yang sangat ke-eropa-eropa-an. Dan, pertemuan dengan Andhika Permata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta menguarkan satu pertanyaan: masih adakah orang betawi asli yang menghuni zona-zona di kawasan seluas 1,3 kilometer persegi ini?Tentu saja tidak mudah mencari betawi asli di belantara Batavia Lama atau Oud Batavia mengingat “Jakarta adalah melting pot di mana berbagai etnis dari Melayu, Cina, Arab, Eropa, dan lain-lain bermukim,” jelas Yoyo Muchtar, anggota Komite Pengawasan dan Pengendalian Perkampungan Budaya Betawi, serta Dewan Penasehat Lembaga Kebudayaan Betawi.Penjelasannya senada rujukan yang menyebutkan, batavianen atau warga yang menghuni Batavia—kota bergaya Eropa yang dibangun Jan Pieterzoen Coen pada 1650—terdiri dari etnis kreol keturunan berbagai etnis, termasuk etnis Melayu, sebagaimana disampaikan Ridwan Saidi dalam tulisannya, “Migrasi orang Melayu ke Jakarta sudah berlangsung sejak abad ke-10.”

Rumah bergaya betawi dengan ornamen atap khas di dekat Masjid Luar Batang. (Foto: VEGA PROBO)

Lebih jauh, sang budayawan menjelaskan dalam tulisannya, Eksistensi Kebudayaan Melayu Betawi yang dilansir kampungbetawi.com, “Pada dasarnya kebudayaan Betawi adalah kebudayaan Melayu. Dari kawasan Tengah hingga pesisir terasa kuat pengaruh Melayu.” Boleh jadi, betawi asli yang bercakap dengan dialek khas—seperti Benyamin, Bajuri, atau Mandra—berdarah Melayu.

Seiring perkembangan zaman, suku betawi asli yang mendiami pesisir kian terpinggirkan. Ridwan menyebutkan, 27 persen suku melayu betawi tersebar di Bekasi, Tangerang, dan Depok. Namun Kartum Setiawan, pendiri Komunitas Jelajah Budaya, memperkirakan jejak betawi asli masih ada di kawasan pesisir. Tepatnya, di Kampung Luar Batang yang bertetangga dengan Museum Bahari.     “Ada orang-orang betawi asli yang tinggal di sekitar sini, namun sudah bercampur dengan etnis lain,” kata Faisal Syam, Ketua Yayasan Masjid Luar Batang. “Saya sendiri keturunan Bugis, generasi ke-empat yang tinggal di sini.” Untuk sementara upaya pencarian “Mandra” di Kota Tua dan pesisir Jakarta—yang kian bias—pun dihentikan, digantikan dengan tur mengelilingi masjid keramat ini.

Masjid ini menjadi istimewa karena sejarah dan kisah yang menyertainya. Berlokasi di Jalan Kampung Luar Batang V No. 1, Penjaringan, Jakarta Utara, masjid lama yang menempati lahan seluas 3.500 meter persegi ini sudah ada sejak tiga abad silam. “Dulu, jendelanya besar-besar seperti Museum Fatahillah,” tutur Faisal yang masih merasakan masjid lama hingga era 1970-an.

Kini, masjid sudah direnovasi total oleh Pemprov DKI Jakarta. Salah satu peninggalannya, berupa menara yang berlomba menjulang dengan menara baru. Di sisi kiri bangunan, ada makam ulama Al Habib Husein yang diperkirakan tutup usia pada 1756. Cagar budaya bersejarah ini dipenuhi umat dari berbagai kota, baik Indonesia maupun mancanegara, terutama selama bulan Ramadan.