Heinrich Zollinger merupakan peneliti yang berjejak pertama kalinya di Tambora usai gunung itu menunjukkan amarahnya. Zollinger menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.
Zollinger merupakan ahli botani asal Swiss yang ditunjuk Kerajaan Belanda sebagai kolektor tanaman resmi di negeri kepulauan Hindia Belanda pada 1842. Tugasnya melakukan ekspedisi ilmu pengetahuan yang dibiayai oleh pemerintah. Kediamannya di sebuah vila pedesaan Tjikoja—kini Cikuya—Karesidenan Banten.
Awalnya dia mengumpulkan data tetumbuhan di lingkungan wilayah Banten dan Buitenzorg—kini Bogor. Dia merambahi dari kawasan Pantai Anyer, Kota Tangerang, sampai lembah dan gunung, termasuk Gede-Pangrango, Salak, dan Tangkubanperahu.
Tahun berikutnya dia merambahi kediaman dewa gunung di Penanggungan, Semeru, Arjuna dan gunung-gunung di Jawa Timur lainnya. Pada 1844 Zollinger mencatat keberhasilan berada di puncak Gunung Welirang, salah satu menara kembar di Jawa.
Koleksi prospektus tumbuhan yang dikumpulkan Zollinger, salah satunya, dikirim ke Profesor Alexander Moritzi, naturalis asal Swis yang bekerja di Solothurn, Swis. Moritzi kelak membantunya dalam hal penamaan, penomoran, dan distribusi.
Pada 1847, petualangannya sampai ke Sumbawa. Tujuan Zollinger adalah mempelajari letusan masa silam Tambora yang berdampak pada keseimbangan alam setempat dan pemulihannya.
Zollinger merayapi lereng hingga mencapai bibir kalderanya di ketinggian sekitar 2.851 meter. Menurutnya, sebelum letusan mahadahsyat pada 1815, tinggi Tambora diduga mencapai 4.300 meter! Zollinger pulang ke Swiss pada 1847, kemudian dia menjabat direktur sekolah seminari di Kussnacht, Swis. Baru pada 1855 dia kembali ke Jawa sebagai seorang ahli botani independen dan kolektor tanaman. Ekspedisi kedua di Hindia Belanda pun dimulai.
(Baca juga: 198 Tahun Sejak Tambora Keluarkan Isi Perut Bumi)
Biaya perjalanan ke pelosok Hindia diperolehnya lewat kiriman prospektus herbarium kepada para ilmuwan di Eropa. Selain mendapatkan uang jasa atas kirimannya, Zollinger juga mendapat perlindungan selama perjalanannya berupa asuransi jiwa.
Zollinger dikenal sebagai penulis berbagai jurnal dan publikasi ilmiah. Dia banyak menemukan spesies tanaman langka, yang sebagian merupakan spesies baru. Banyak pemikirannya telah mengalir dari ujung tinta, antara lain bidang geologi, meteorologi, moluska di Pulau Rakata, taksonomi tumbuhan, dan beberapa hal yang terkait tentang vegetasi di Hindia Belanda.
Koleksi herbariumnya telah tersebar di berbagai herbarium di Swiss dan Prancis. Namun, koleksi utamanya kini disimpan di Nationaal Herbarium Nederland di Universiteit Leiden dan Utrecht .
Zollinger demam hebat saat melakukan ekspedisi di Kandangan, sebuah desa di lereng tenggara Gunung Tengger, Jawa Timur. Dia tarjangkit malaria —salah satu ancaman terbesar penjelajah abad ke-19—kemudian tewas di desa tersebut pada 19 Mei 1859. Ketika itu usianya 41 tahun.
Kini, namanya dikenang dalam sebuah plakat di Botanischer Garten Zürich (Kebun Botani Zurich), Swis. Beberapa nama tumbuhan di Indonesia mengabadikan namanya. Sebagai contoh, dua dari seratusan tanaman obat yang digunakan penduduk sekitar kawasan Halimun-Salak adalah Flacourtia rukam Zollinger & Moritzi dan Schismatoglottis rupstris Zollinger & Moritzi.
Dalam penjelajahannya sekitar sepuluh tahun di Hindia Belanda, Zollinger telah memberikan lebih dari 270 spesimen. Lebih dari 20 spesies tanaman, rumput laut dan jamur menggunakan nama "zollingerii" sebagai bagian penamaan Latin. Sebuah sumbangan besar dan bermanfaat kepada ilmu pengetahuan.