Apa sebenarnya Sriwijaya itu? Kerajaan, tentu saja. Namun, dalam prasasti-prasasti awal Sriwijaya—khususnya prasasti Telaga Batu—disebut suatu terminologi yang lebih spesifik: kadatuan (kedatuan).
Prasasti Telaga Batu berisi banyak nama jabatan dan pangkat yang mungkin sekali terdapat dalam struktur pemerintahan atau kemasyarakatan di Sriwijaya. Mulai dari putra raja hingga nakhoda kapal, mandor, atau budak raja.
Berdasarkan prasasti-prasasti awal Sriwijaya, sejumlah ahli menduga bahwa organisasi pemerintahan Sriwijaya berbentuk kadatuan. Setidak-tidaknya pada akhir abad ketujuh hingga kedelapan.
(Baca: Seratus Tahun Lalu, Sriwijaya Dikira Nama Raja)
Di Sriwijaya terdapat sejumlah wanua-wanua (permukiman-permukiman) yang dikepalai oleh seorang datu (datuk) dan kesemuanya berada dalam kendali kadatuan “pusat” yang dipimpin oleh datu pula. Namun, datu yang tertinggi ini bergelar Dapunta Hyang.
Sejarawan Inggris, O. W. Wolters, menyatakan bahwa Sriwijaya merupakan suatu mandala kekuasaan. Mandala berasal dari Bahasa Sanskerta dan merupakan simbol dari alam semesta di mana terdapat suatu kekuatan atau sumber kehidupan. Menurut Wolters, mandala Sriwijaya meliputi wilayah-wilayah yang berada dalam pengaruh Sriwijaya. Dalam hal ini, Sriwijaya adalah pusat dari mandala (lingkaran).
Hermann Kulke, seorang profesor sejarah Asia Tenggara dan India yang berkebangsaan Jerman, juga membuat kesimpulan berdasarkan tafsirnya atas isi beberapa prasasti awal Sriwijaya—terutama prasasti Telaga Batu. “Organisasi Sriwijaya adalah kadatuan,” demikian tulis Kulke dalam sebuah karya ilmiah yang diterbitkan dalam buletin Ecole Francaise d'Extreme-Orient (EFEO)—institusi Prancis yang mempelajari masyarakat Asia pada tahun 1993.
Seorang ahli lain yakni K.R. Hall berpendapat senada, namun dengan penekanan berbeda. “Sriwijaya (hanya) mengacu kepada suatu kelompok pelabuhan besar,” tulisnya.
(Baca: Konsep Mendesa di Ibu Kota Sriwijaya)
Menurut ahli arkeologi dari Puslitbang Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, mungkin Sriwijaya memang merupakan suatu jaringan pelabuhan. Setelah kedatangan I-Tsing, jelas Bambang, “Mungkin sekali bahwa Sriwijaya merupakan suatu sebutan untuk pelabuhan terbesar di pesisir timur Sumatra.”
Bambang menambahkan, “Mungkin juga dari pelabuhan-pelabuhan itu pada suatu masa lebih bersinar dibanding pelabuhan-pelabuhan lainnya.” Dengan kata lain, Sriwijaya mungkin digunakan untuk menyebut jaringan pelabuhan tersebut, juga mengacu kepada kadatuan pusat. Sedangkan pelabuhan terbesarnya bisa berpindah.
Nurhadi Rangkuti, kepala Balai Arkeologi Palembang, mengungkapkan hal serupa. “Sebelum mendirikan wanua di sekitar Palembang, Dapunta Hyang menaklukkan pusat-pusat niaga yang tidak patuh di sekitar muara Sungai Musi dan pesisir Sumatra,” tukasnya.
Apakah kadatuan Sriwijaya terus merupakan suatu kadatuan pada abad kesembilan hingga ke-11? Atau memang merupakan suatu perserikatan atau jaringan bandar-bandar dagang? Sekali lagi, Sriwijaya menunggu banyak penelitian dan kajian lanjutan.
Simak kisah mengenai Siddhayatra (perjalanan jaya) Sriwijaya di majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.