Mengejar Fajar di Puncak Fuji

By , Selasa, 24 September 2013 | 12:00 WIB

Malam menjelang, membawa angin dingin berembus kencang. Udara dingin dan hujan yang bisa tiba-tiba turun tidak meredupkan hasrat ramai pendaki yang bersiap di Pos Kawaguchi-ko, di lereng Gunung Fuji, Jepang. Jendela pendakian ke Gunung Fuji, gunung tertinggi di Jepang (3.776 meter), hanya dibuka sepanjang musim panas pada bulan Juli-Agustus. Banyak pendaki enggan melewatkannya.

Tiap tahun lebih kurang 500.000 orang —yang sepertiganya turis mancanegara—mendaki Fuji selama dua bulan ini. Dalam periode tersebut, salju yang biasanya menyelimuti puncak Fuji telah menghilang. Cuaca dianggap lebih ramah dan suhu lebih hangat —walaupun terkadang turun hingga mendekati titik beku.

Dari Pos V Kawaguchi-ko di ketinggian 2.300 meter, diperkirakan 6-8 jam sampai puncak Fuji. Setelah mengisi perut dengan udon panas, lalu memenuhi tas dengan dua air minum dan dua bungkus nasi kepal, kami pun bersiap mengejar matahari pagi terbit di puncak gunung.

Matahari pagi di puncak Gunung Fuji populer dengan sebutan "goraiko". "Goraiko" hanya muncul beberapa saat, sebelum kemudian kembali tertutup kabut. Oleh karena itulah kemunculan matahari menjadi momen yang dinanti-nanti.

Bagi orang Jepang, Fuji memang gunung istimewa. Ratusan tahun pesona kemegahan gunung ini menjadi sumber inspirasi berbagai karya seni: puisi, tulisan, hingga lukisan.

Gunung ini juga salah satu pusat orientasi spiritual pemeluk Shinto, agama tradisional di Jepang. Sejumlah kuil Shinto didirikan di Gunung Fuji, mengingatkan pada banyaknya pula candi dan tempat pemujaan yang dibangun di gunung-gunung api di Indonesia.

Fuji sebenarnya gunung api aktif yang terletak di persimpangan tumbukan tiga lempeng tektonik aktif yakni Lempeng Amurian (Eurasia), Lempeng Okhotsk (Amerika), dan Lempeng Filipina. Terakhir kali meletus pada 1707, abu Fuji jatuh hingga Tokyo yang berjarak sekitar 100 kilometer.

Pada Juni 2013, Fuji ditetapkan sebagai salah satu situs baru Warisan Dunia oleh UNESCO PBB. Pendakian tahun ini pun kian ramai.

Jalur pendakian Fuji memang seperti pasar malam saja. Pendaki mengular, beriringan di sepanjang jalur pendakian yang mulai terjal sedari Pos VII. Beberapa kali kami harus sabar antre.

Berbeda dengan gunung-gunung Indonesia yang jalurnya kebanyakan dibiarkan alami dan kerap menyesatkan, jalur pendakian Fuji dikemas nyaman untuk wisatawan. Beberapa ruas telah dibuat tangga batu dan jalinan tali memagari jurang. Pendaki yang kelelahan dapat menginap dan makan di penginapan yang dijumpai hampir di setiap perhentian. Toilet pun tersedia hingga di puncak dengan tarif 200 yen (atau Rp20.000) per orang.