"Melukis" dengan Eceng Gondok di Permukaan Limboto

By , Selasa, 24 September 2013 | 11:14 WIB

Biasa para seniman melukis di atas kanvas, kertas, atau tembok. Tapi yang dilakukan Iwan Yusuf, tergolong unik: melukis di atas Danau Limboto, Gorontalo, yang nyaris hilang terkena pendangkalan dan alih fungsi.

Pria kelahiran Gorontalo 31 tahun lalu ini, menuangkan karya di atas air danau, tidak dengan cat minyak, melainkan eceng gondok yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai telapak kaki raksasa berukuran 500 x 190 meter persegi. Lukisan ini diberi judul “Lahilote”.

Di Limboto, eceng gondok menutupi sebagian besar danau hingga terbentuk menyerupai pulau.   Iwan membuat proyek pameran tunggal di danau ini bertajuk “Menghadap Bumi”. Karya ini melibatkan belasan nelayan danau sebagai pekerja, dibantu sejumlah rekan dan sahabat di Gorontalo. Para kru dalam proyek ini tergabung dalam “Iwan Yusuf KreaTim.”

Iwan mengatakan, awalnya memperkirakan proses pengerjaan lukisan raksasa ini diselesaikan dalam belasan hari. Namun, karena banyak tantangan dan kendala, lukisan ini memakan waktu sekitar tiga minggu.

“Ternyata tidak semudah yang dibayangkan, tantangan cukup banyak. Mulai faktor cuaca seperti terpaan angin dan hujan, gelombang air, proporsi dan akurasi bentuk lukisan, ternyata jauh lebih rumit jika dikerjakan di atas air,” katanya seperti dikutip dari Mongabay Indonesia, Jumat (20/9).

Iwan adalan pelukis yang terkenal dengan karya realis dan ini adalah pameran tunggal pertama di Gorontalo. Sebelum ini, Iwan kerap menggelar berbagai pameran, baik lukisan, patung, dan karya instalasi di Jakarta, Surabaya, dan Malang.

Diangkat dari cerita rakyatGambar telapak kaki itu, diambil dari kisah Lahilote, cerita rakyat Gorontalo yang hidup di danau yang kini kian dangkal itu. Cerita ini mirip legenda Jaka Tarub, di mana Lahilote adalah seorang pemuda perkasa yang mencuri selendang milik seorang bidadari yang tengah mandi di Danau Limboto , yang kemudian dinikahi.

Suatu hari, sang bidadari berhasil menemukan selendang itu dan kembali ke langit. Lahilote sempat menyusul dengan memanjat untaian rotan dan tinggal di kayangan hingga terjungkal ke bumi dengan tubuh terbelah dua.

Bekas salah satu kaki, konon terhempas di Pohe, sebuah kampung pesisir di Kota Gorontalo, dan masih bisa disaksikan hingga kini. Sedang bekas kaki lain di tempat lain. Ada yang mengatakan di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, Gunung Tilongkabila, dan di Desa Botuliodu di Kabupaten Gorontalo.

“Melalui karya ini, saya ingin menyampaikan pesan pentingnya menjaga kelestarian danau Limboto secara berkelanjutan," kata Iwan.

Data Badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) Gorontalo, sedimentasi Danau Limboto kian mengkhawatirkan, mencapai 5.300 ton per tahun. Pembabatan hutan di hulu sungai, pertumbuhan eceng gondok yang masif menjadi persoalan yang memperparah kondisi danau ini.

Pendangkalan di danau yang kini tinggal 2.500 hektare, itu mencapai 66 sentimeter meter per tahun, hingga kehilangan luas 66,7 hektare per tahun. Danau ini masuk dalam 15 danau kritis di Indonesia.

Kedalaman masa lalu mencapai puluhan meter, kini rata-rata hanya 2,5 meter. Jika dibiarkan begitu saja, danau ini diprediksi hilang pada 2025. “Danau kebanggaan Gorontalo ini sedang sekarat, perlu segera ditolong. Telapak kaki ini perumpamaan betapa dangkalnya kini danau ini, hanya setinggi telapak kaki Lahilote,” ucap Iwan.

Lukisan telapak kaki raksasa ini, dapat dinikmati dari atas pesawat udara yang hendak mendarat di Bandara Jalaluddin Gorontalo. “Bagi yang ingin melihat dari pesawat, lukisan akan tampak jelas dengan duduk di kursi A atau sebelah kanan kokpit, pada saat pesawat hendak lepas landas  dan mendarat, baik yang menuju maupun dari arah Makassar.”