Diplomasi Soto dan Sushi

By , Selasa, 24 September 2013 | 14:35 WIB
()

Festival Jak-Japan Matsuri 2013 yang menandai 55 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Jepang, baru saja dirayakan awal September lalu. Kebudayaan Tanah Air, khususnya gamelan, sebenarnya telah berdiaspora di Negeri Sakura.

Para agen kebudayaan ini ialah para orang Jepang yang kepincut Indonesia. Mereka lalu menjalin relasi dari hati ke hati dengan orang-orang Indonesia. Namun relasi ini masih kerap luput dalam diplomasi politik dan niaga antar kedua negara.

Menurut direktori yang disusun American Gamelan Institute dan dipublikasikan di www.gamelan.org, jumlah kelompok gamelan di negara Jepang pada 2011 mencapai 48 grup. Itu jumlah terbanyak di luar Indonesia. Selain itu, banyak orang Jepang belajar tarian tradisional Indonesia, meski belum ada survei untuk berapa jumlah pastinya.

Noriko Sasaki (53), pada 1983 untuk pertama kali ke Bali dan menyaksikan secara langsung pertunjukan gamelan. Tahun-tahun berikutnya dia berkeliling kota-kota lain di Indonesia.

Perkenalan Noriko dengan Indonesia dimulai dari ketertarikan terhadap gamelan saat kuliah di Kunitachi College of Music, Tokyo, tahun 1981. Dia jadi menyukai segala sesuatu berbau Indonesia. Kunjungannya tak terkait dengan pekerjaan, tapi juga untuk merasakan dan mengunjungi kawan-kawan. Dia menjalin persahabatan dengan banyak orang Indonesia, salah satunya penyanyi keroncong almarhum, Gesang.

Noriko yang aktif di grup gamelan Sekar Djepun ini bingung ketika diminta menjelaskan alasan kenapa suka Indonesia, seperti orang yang sedang cinta, terkadang tidak rasional. "Saya merasa orang Indonesia 'lucu'...benar enggak ya istilah itu? Yang jelas orang Indonesia berbeda," ucapnya.

Tatkala gelap kian berlalu, diufuk timur sinar mentari mulai memancarkan rona nan rancak. Biasnya memantul di Danau Gunung Tujuh yang jelas terlihat dari jalur menuju puncak Gunung Kerinci, gunung berapi aktif tertinggi di Indonesia. (Yunaidi Joepoet)

Noriko bukan satu-satunya. Banyak pula orang, seperti anak muda Jepang yang tertarik terhadap Indonesia mempelajarinya lebih mendalam, bak sisi budaya, bahasa, maupun ekonominya.

Sayang keberadaan orang-orang yang berakar ke Indonesia ini belum dimanfaatkan baik. Padahal mereka tertarik dengan Indonesia ini kebanyakan tanpa pamrih, karena memang suka.

Meta Sekar Puji Astuti, sosiolog Universitas Hasanuddin-Makassar mengatakan, relasi kebudayaan Jepang-Indonesia cukup timpang. Meta yang tengah mengambil program doktoral di Universitas Keio ini, melihat bahwa jika masyarakat Jepang banyak yang serius mendalami kebudayaan Indonesia, tidak terjadi sebaliknya pada masyarakat Indonesia.

Maka sulit sekali mencari ahli Jepang di Indonesia. "Mahasiswa Indonesia di sini [Jepang] kebanyakan belajar teknik, jarang mempelajari kebudayaannya. Kampus di Indonesia juga hanya mengajari bahasa Jepang, tidak kebudayaannya. Bahkan diplomat Indonesia di Jepang saja tidak paham karakter masyarakat Jepang. Akibatnya, strategi diplomasi kita juga lemah," ungkap Meta.

Ia juga mengatakan, diaspora kebudayaan Indonesia di Jepang seperti gamelan, terjadi karena ada orang Jepang yang mencarinya sendiri, bukan karena kehebatan diplomasi. "Beruntung kita punya Bali yang jadi pintu masuk orang Jepang," ujarnya.

Diplomasi Indonesia dan Jepang seharusnya meniru diplomasi soto dan sushi, yang menempatkan kebudayaan dua negeri setara, saling menghargai serta saling membutuhkan.