Gajah (gajah Sumatra yang kita kenal saat ini) mungkin merupakan satwa kebanggaan para maharaja Sriwijaya. Walaupun gadingnya diperdagangkan, gajah digunakan pula oleh maharaja Sriwijaya untuk tujuan yang lebih “mulia”. Mungkin saja hal ini terkait dengan kebudayaan India—yang memengaruhi Sriwijaya—di mana gajah merupakan salah satu satwa yang dianggap sakral.
Berikut adalah beberapa penyebutan tentang gajah dalam catatan-catatan kuno maupun prasasti yang terkait dengan Sriwijaya:
1. Dalam suratnya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus pada 718, maharaja Sriwijaya yang diduga Sri Indrawarman memperkenalkan diri sebagai raja yang “memiliki seribu ekor gajah.”
2. Gajah disebutkan dalam bagian “sambutan” pada baris-baris prasasti Wat Sema Mueang sisi A. Prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Ligor tersebut ditemukan di wilayah Thailand bagian selatan saat ini. Intinya berkisah tentang pembangunan tiga bangunan suci oleh maharaja Sriwijaya.
3. Ketika pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya digempur oleh Kerajaan Chola pada tahun 1025, beritanya ditulis dalam prasasti Tanjore bertarikh 1030-1031. Sangrama-vijayottungawarman, maharaja Sriwijaya saat itu, ditawan di Kadaram (Kedah) sekaligus bersama “pasukan gajah yang digunakannya untuk berperang”.
4. Chu-fan-chi (pengetahuan tentang negeri-negeri barbar/asing) karya Chau Jukua (Zhao Rugua) mencatat bahwa komoditas Sriwijaya yang berasal dari satwa terutama adalah gading gajah dan karapas penyu (atau cangkang kura-kura). Walapun ditulis pada abad ke-13 ketika Sriwijaya telah meredup, sejumlah ahli menduga catatan itu dibuat oleh Chau Jukua berdasarkan pengetahuan Bangsa Cina selama dua abad sebelumnya.
Simak kisah mengenai Sriwijaya di Kejayaan Sriwijaya dalam National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.