Pangeran Dipanagara dikenal dalam usahanya mengusir penjajah dengan mengobarkan Perang Jawa (1825 - 1830). Pada usaha awal, taktik macam gerilya, infanteri, dan perang terbuka, berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Nasib Belanda memburuk ketika musim hujan tiba. Di mana pasukannya berkurang drastis karena malaria dan disentri, bukan karena senjata pasukan Dipanagara. Pada musim seperti ini pula, senjata yang dibawa serdadu Belanda macet sehingga kurang efektif.
Untuk menambah jumlah pasukannya, Belanda kemudian merekrut prajurit dari Afrika dan Pantai Gading --yang kemudian dikenal sebagai Belanda hitam. Belanda juga mendatangkan tentara yang bermarkas di Sulawesi hingga total kekuatannya mencapai 23.000 personel. Pemimpin pasukan Belanda ini adalah Jenderal De Kock.
Berkat strategi dari jenderal inilah pasukan Dipanagara bisa dipecah dan melemah. Menurunnya perlawanan pasukan Dipanagara ditandai dengan menyerahnya pemimpin spiritual perjuangan, Kyai Maja pada tahun 1829. Tak berapa lama, panglima utama Dipanagara, Sentot Alibasya dan Pangeran Mangkubumi, menyusul menyerah.
(Lihat: "Menelanjangi" Lukisan Pangeran Dipanagara)
Kendati demikian, perlawanan laskar Dipanagara yang berkobar dalam Perang Jawa telah memakan korban paling tidak 10.000 tentara Belanda. Sementara jumlah total pasukan Belanda yang diturunkan sebanyak 50.000 personel. Perang Jawa bahkan dimasukan sebagai great war untuk ukuran Eropa. Sedangkan di pihak pasukan Dipanagara, diperkirakan telah gugur 20.000 orang.
Perang Jawa sekaligus menunjukkan perlawanan tak kenal menyerah dari Pangeran Dipanagara. Lukisan "Penangkapan Dipanagara" sendiri diabadikan oleh pelukis Tanah Air, Raden Saleh. Kisah lengkap Pangeran Dipanagara bisa Anda simak dalam Majalah Angkasa edisi The Great Commanders of The Battle Fields.