Beberapa hipotesis muncul untuk menjelaskan alasan kita menguap, namun para ahli masih belum menemukan konsensus tentang fenomena ini.
Salah satu penjelasan yang paling sering disampaikan adalah bahwa menguap membantu menarik sejumlah besar udara untuk meningkatkan tekanan darah, detak jantung, dan kandungan oksigen dalam darah. Perubahan fisiologis ini meningkatkan fungsi motorik dan kewaspadaan kita, membantu kita bangun saat kita merasa lelah atau bosan.
Namun, pada 2010, jurnal Neuroscience and Biobehavioral Reviews menampilkan penelitian yang menunjukkan bukti yang melemahkan penjelasan fisiologi soal menguap, termasuk hipotesis soal meningkatnya gairah (peningkatan aktivitas otak untuk menjaga kita tetap terjaga).
Ide menarik tentang alasan menguap yang muncul beberapa tahun terakhir melalui hipotesis hipertermia. Menguap diketahui membantu mendinginkan otak kita. Pada 2007, ditemukan bahwa menempelkan kemasan hangat atau dingin di dahi mempengaruhi seberapa sering orang menguap saat menonton video yang menampilkan orang lain menguap. Ternyata kemasan yang dingin mengurangi penguapan.
Sebagai tambahan untuk menguatkan hipotesis hipertermia tersebut, peneliti juga mengungkapkan bahwa tikus menunjukkan peningkatan aktivitas otak sebelum menguap dan orang cenderung menguap saat udara di sekitarnya dingin.
Beberapa peneliti sosial melihat menguap terkait dengan mimikri dan empati. Orang kerap tertawa saat orang lain tertawa, tersenyum saat yang lain tersenyum dan cemberut saat orang lain cemberut.
Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan tingkat empati tinggi cenderung untuk lebih mudah tertular saat melihat orang lain menguap. Sedangkan anak penyandang autisme tidak mengalami hal yang serupa.
Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang lebih dekat secara genetik dan emosional cenderung lebih mudah menguap saat saudara atau teman dekatnya menguap. Hal ini diduga karena adanya ikatan empati yang kuat di antara mereka.