Tarakan: Palagan Perang Dunia II

By , Minggu, 29 September 2013 | 11:00 WIB
()

Moncong meriam itu menatap perairan barat di bagian selatan Pulau Tarakan. Karat dan corat-coret tangan jahil tak mampu menghapus jejak kedigdayaan mesin perang itu. Berperisai baja tebal, meriam berdiri di atas beton kokoh. Dari perbukitan Peningki Lama, Mamburungan, Tarakan Timur, pantai Tarakan yang menghadap Pulau Kalimantan terlihat jelas. Pantas saja mesin perang ditaruh di punggung bukit untuk mengintai lawan.

Hulu meriam telah pecah terkoyak—bisa jadi sengaja dirusak sebelum direbut musuh. Onderdil mesin meriam telah rontok. Tameng baja di sisi kiri musnah. Lima meriam pantai yang lain berderet menghadap lautan antara Pulau Tarakan dan Kalimantan.

Tak jauh dari meriam buatan Fried Krupp Essen Jerman pada 1901 ini sebuah bangunan beton segiempat tegap berdiri. Di masa lalu, tempat ini terlindungi tetumbuhan dan semak. Kini, dua pintu nampak terbuka menganga, kusen pintu terbuat dari baja tebal, daun pintunya lenyap, berdinding beton selebar sekitar 30 sentimeter.

Belanda membangun gudang perbekalan itu pada 1936 untuk mendukung barisan artileri pantai. Meski sunyi seyap, saat Perang Dunia II, wilayah ini menjadi saksi darah dan mesiu pernah meruap-ruap di udara.

Gudang perbekalan menjadi salah satu bagian penting dalam pertahanan militer Belanda. Tujuannya: memasok logistik bagi serdadu di garis depan. Lokasinya yang selalu di titik pertahanan, membuktikan gudang ini sebagai sarana perang.

Agar tak terendus musuh, sekujur gudang logistik ditimbun tanah: di atas, belakang dan samping. Hanya bagian depan yang terbuka. Secara teknis, timbunan tanah juga untuk meredam getaran saat digempur lawan.

Dari Peningki Lama, pertahanan pantai Belanda berjejer ke Muara Karungan hingga Tanjung Pasir. Tiga area ini strategis bagi Belanda menghadang Jepang dari pesisir barat Tarakan. Pentingnya kawasan ini sebagai benteng pertahanan terlihat dari fasilitas perang yang dibangun: artileri pantai, bungker, gardu listrik dan tempat pengintaian.

Di Tanjung Juata, Juata Laut, ujung utara Pulau Tarakan yang berbatasan dengan Laut Sulawesi, juga terdapat situs tinggalan perang: 3 meriam, gardu listrik, dan benteng beton. Di Pantai Amal, sisi timur Tarakan, Belanda membangun satu bungker dan barak. Bungker atau bangunan persembunyian  di Tarakan setinggi tubuh manusia, berukuran sekira 4 meter kali 3 meter.

Militer Belanda menempatkan sekitar 15 meriam artileri pantai buatan Jerman tahun 1901 dan 1902. Tiga meriam di Tanjung Juata untuk wilayah utara; 12 meriam tersebar di Peningki Lama, Muara Karungan dan Tanjung pasir, untuk membentengi pantai barat bagian tengah dan selatan.

Foto yang terdapat di Museum Rumah Bundar, Tarakan, Kalimantan Utara. Inilah saat penting pasukan sekutu mendarat di Tarakan (Agus Prijono).

Sejak 1869 Tarakan telah menjadi pangkalan kapal perang Belanda untuk mengawasi sisi utara Kalimantan—berbatasan dengan Malaysia Timur di bawah Inggris.  Tak lama berselang, pada 1896 Belanda mengendus kekayaan minyak bumi Tarakan. Belanda, tak mengejutkan, menegaskan Tarakan sebagai pulau strategis pada 1939. Semenjak itu, pulau menjadi basis pertahanan sebagai penghasil minyak bumi dan pulau-pulau sekitarnya.

Dalam peta yang terdapat di Museum Rumah Bundar Kota Tarakan, benteng pertahanan pantai terpusat di Peningki Lama sampai Tanjung Pasir. Belanda menduga Jepang bakal menusuk dari sisi ini. Di kawasan sebelah barat memang terdapat industri minyak dengan fasilitas sipil dan militer. Tak salah lagi, pertahanan paling tangguh berpusat di sisi barat.

Berbagai dokumentasi perang merebut Tarakan dapat dilihat di Museum Rumah Bundar Kota Tarakan. Para serdadu yang mendarat nampak keluar dari lambung kapal perang di Pantai Lingkas. “Bekas jembatan itu masih ada. Tapi hanya tonggaknya, karena diganti dengan jembatan baru,” tutur Evan Erlangga, staf pengelola museum.

Bangunan museum sebenarnya bekas barak militer Australia dengan atap melengkung. Semenjak perang berakhir, para penduduk lantas mendiami rumah bundar. Dari 11 unit, kini tersisa enam rumah bundar. “Telah direnovasi,” imbuh Evan.

Satu unit dibeli pemerintah kota, yang lantas dijadikan museum. Evan menjelaskan rumah bundar sebenarnya tanpa plafon, sehingga sirkulasi udara bisa berputar. Kini rumah bundar yang ada telah diberi plafon dan teras pada pintu masuk.

Berbagai relik Perang Dunia II di Tarakan tersebar di sekujur pulau. Sayangnya, perhatian terhadap saksi bisu pertempuran berdarah-darah itu masih minim. Hampir semua tinggalan sejarah militer dibiarkan begitu saja. Di situs-situs sejarah, baik fasilitas perang maupun industri minyak, hampir tanpa informasi bagi pengunjung.